[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="PIONIR ASURANSI MODERN INDONESIA: Para Direksi JAGADIRI, Operations Director Jullysava C Aziz (kiri), President Director Reginald Yosiah Hamdani (tengah) dan Finance Director Olivia Savitri Widjaja (kanan) saat peluncuran JAGADIRI 27 Januari 2015 lalu. (sumber: Marketeers)"][/caption] Sebagai seorang pengelola sebuah perusahaan, salah satu tugas saya adalah ikut terlibat dalam proses rekrutmen karyawan baru. Khusus untuk calon karyawan bidang penjualan, favorit saya adalah calon karyawan yang pernah berpengalaman sebagai agen asuransi. Di mata saya, para agen atau penjual asuransi itu adalah penjual yang hebat. Mereka menawarkan produk dengan harga tidak murah, harus dibayar rutin dalam jangka panjang dan keuntungannya tidak bisa dinikmati seketika -- apalagi dipakai pamer. Proses dan limitasinya juga rumit, harus ini-itu, cuma bisa ini-itu, dsb. Bahkan, keuntungan dari asuransi hanya bisa dinikmati ketika seseorang mendapat musibah atau meninggal.
Menurut saya, asuransi itu barang jualan paling rumit yang pernah diciptakan manusia. Maka terpuji lah mereka yang bisa menjual barang satu ini. Saya biasanya tak perlu pikir panjang untuk mengiyakan lamaran pekerjaan calon karyawan yang pernah jadi agen asuransi.
Pertamakali saya mengetahui soal Asuransi JAGADIRI dari PT Central Asia Financial (CAF), saya melongo. Saya menganggap orang-orang di balik JAGADIRI agak 'sinting'. Di Indonesia, asuransi baru jadi 'barang' yang dijual, belum 'barang' yang dibeli. Tanya pada diri anda sendiri, kapan terakhir anda membeli asuransi? Kalau pun saat ini anda punya asuransi, mayoritas itu karena disediakan pemerintah atau perusahaan. Bila anda membeli asuransi, mungkin lebih karena agen asuransinya kerabat atau saudara anda, anda capek ditelepon terus, atau kasihan dengan agen asuransinya.
Coba lihat JAGADIRI. Mereka tidak punya agen asuransi atau telemarketing yang rajin menelepon itu. Mereka 'cuma' punya website dan mobile application. Calon nasabah datang sendiri, mendaftar sendiri, transaksi sendiri. Semua mengurus sendiri. Agak sinting memang. Asuransi di Indonesia dijual saja susah, apalagi dibeli.
Tapi bukan kah nama-nama besar yang kita kenal sekarang memang agak sinting di zamannya? Waktu Larry Page ingin menjual alogaritma mesin pencari ke Yahoo, ia ditertawakan dan dibilang sinting. Tapi sekarang mesin pencari Google buatan Larry Page tidak hanya mengubah internet, tapi mengubah dunia. Atau seperti Bob Sadino yang dibilang sinting ketika memilih berbisnis sayur dan ayam potong ketika ia sangat mungkin bisa cepat kaya dari proyek pemerintah saat itu. Tapi siapa tidak kenal Om Bob?
Memang dunia ini sering membutuhkan orang-orang agak sinting. Bukan sinting betulan tepatnya. Tapi visi dan kecerdasan mereka melampaui zaman dan belum bisa diterjemahkan oleh orang awam di era yang sama. Orang-orang di belakang JAGADIRI seperti Presiden Direktur Reginald Yosiah Hamdani pasti bukan orang bodoh, hanya rata-rata kita mungkin belum bisa menterjemahkannya. Kenapa JAGADIRI begitu berani memulai era asuransi di Indonesia dari produk yang dijual menjadi produk yang di beli?
Karena penasaran, saya coba menelusur kemungkinan alasan-alasannya.
KELAS MENENGAH MENDOMINASI POPULASI
Pembeli asuransi pastinya bukan untuk golongan yang masih tidak bisa mencukupi kebutuhan primer. Kalau dirujuk ke Piramida Maslow, pembeli asuransi berada mulai dari tingkat ke-2, yakni ketika manusia sudah memikirkan cara mewujudkan perlindungan bagi dirinya sendiri dan keluarga. Di tingkat ke-2 ini lah kelas menengah bermula. [caption id="attachment_1617" align="aligncenter" width="540" caption="Piramida Maslow (sumber: Wikipedia)"]
UNTUK PARA MILLENIAL
Priska Sari Kurniawan, Head of Strategic Marketing Division CAF, mengatakan JAGADIRI menyasar market usia 28-35 tahun. Ini kalangan Millenial atau populasi yang lahir di tahun 1980-2000, atau biasa disebut Generation Y. Dalam tulisan saya berjudul Mengenal Millenial: Konsumen Anda, dijelaskan bahwa Millenial punya karakter sangat kontras dengan generasi-generasi sebelumnya seperti Generation X dan Baby Boomer. Mereka berpikiran terbuka, inovatif, dinamis, terdidik, mementingan gaya hidup, berorientasi masa depan, gemar travelling, bergerak cepat, efisien, mandiri dan tech savvy (tergantung dan cakap dengan teknologi).
Pertumbuhan internet di Indonesia juga naik pesat dan menduduki peringkat ke-6 dunia. Sampai 2014 ada 83,7 juga pengguna internet di dalam negeri. Pada 2017 nanti diprediksi ada 112 juta pengguna internet Indonesia mengalahkan Jepang. Millenial makin dimanjakan dan makin 'always on'.
Dari sini jawaban soal JAGADIRI sudah makin terang. Menjual produk ke Millenial tidak bisa dengan cara-cara lama, begitu pula cara merayu mereka. Kemandirian dan akses tak terbatas Millenial terhadap informasi membuat mereka skeptis dan mementingkan value produk, bukan faktor bujuk-rayu. Itu sebabnya agen asuransi konvensional akan kesulitan mendekati para Millenial dengan cara-cara konservatif. Millenial harus memutuskan sendiri. Ketika sudah memutuskan, mereka ingin enabling (aktivasi) dilakukan secara cepat dan efisien -- tak perlu bertele-tele.