Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cashless Society pada Low Trust Society

30 April 2015   10:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia juga punya nama buruk di penggunaan uang virtual. Di awal 2000-an Indonesia pernah di-banned dari eBay, Amazon dan banyak situs e-Commerce luar negeri karena banyaknya pemesanan barang menggunakan kartu kredit curian dari Indonesia. Tindak pidana ini biasa disebut carding. Kelompok carding di Indonesia masih tersebar di internet dan data kartu kredit curian dihargai Rp100.000/satuan.

Metode pencurian data kartu kredit tidak hanya lewat database situs e-Commerce yang diretas (hacked), tapi juga di toko nakal yang merekam data kartu kredit pelanggannya. Saya sampai sekarang masih rutin berbelanja di e-Commerce dan membayar dengan kartu kredit, namun kecemasan data kartu kredit saya dicuri tidak juga hilang.

Belakangan kita juga mendengar tentang 'arisan' Mavrodi Mondial Moneybook (MMM) yang biasa disebut Manusia Membantu Manusia. Di Indonesia MMM kabarnya mencapai 300 ribu orang. Semua transaksi dilakukan secara virtual lewat transfer dana. Oleh Mavrodi, pemilik MMM, sistem ini di-restart di tengah-tengah 'arisan'. Semua uang virtual lenyap tak bersisa. Meski tak ada yang melaporkan Mavrodi ke polisi, tapi diduga kerugian yang ditimbulkan triliunan. Negara baru bertindak belakangan dengan menyatakan MMM dilarang dan segala situs tentang MMM diblokir pada 2014.

Cultural Value pada Virtual Object

Suatu hari saya menemani seorang rekan bertransaksi jual-beli properti, ia adalah penjualnya. Usianya 40-an, pengusaha, pendidikan sarjana dan hidup di perkotaan. Ia meminta pembeli membayar hanya uang tunai. Si teman menolak pembayaran lewat transfer bank. Katanya kurang meyakinkan dan ada kepuasan saat melihat uang secara fisik. Maka dihampar lah uang pecahan Rp50.000 dan Rp100.00 sebanyak Rp3 miliar di depan kami. Saya menepuk jidat.

Manusia telah menggunakan uang secara fisik sebagai alat tukar sejak 640 SM, artinya sudah 2.640 tahun. Bandingkan dengan kartu kredit yang baru lahir pada 1950 lewat Diners Club dan baru populer di Indonesia tahun 1990-an.

Pertukaran lewat uang tak hanya bernilai ekonomi (economic value). Ia adalah interaksi sosial yang membangun nilai budaya (cultural value) yang mencetuskan aksi (action) dalam bentuk serah-terima (trade) secara fisik (physical object). Ribuan tahun manusia mengenal uang lewat logam dan kertas yang merupakan benda-benda fisik. Kini manusia harus berhadapan dengan uang virtual (virtual object) yang 'tidak ada' atau sebatas angka di layar komputer. Ini tak hanya mengubah budaya pertukaran, tapi psikologi penggunanya. Kisah saya di atas adalah soal cultural value terhadap uang baik sebagai objek fisik maupun virtual. [caption id="attachment_1580" align="aligncenter" width="372" caption="Foto populer Syekh Puji yang menyimpan uangnya dalam jumlah sangat besar di rumah. (sumber: Inilah)"]

[/caption] Uang sebagai barang virtual yang tak kasat mata dalam metode pertukaran cashless tak hanya harus bisa mendapatkan persepsi psikologis yang sama dibanding bila uang itu hadir dalam bentuk fisik. Tapi ia juga menuntut kredibilitas dan perlindungan ketika hadir dalam low trust society. Masyarakat mungkin bisa saja rela menukar kebanggaan atau kepuasan psikologis melihat atau menunjukkan uangnya yang bergepok-gepok kepada orang lain dengan manfaat yang bisa ia terima lewat uang elektronik dengan simplicity, speed dan security-nya. Namun mereka butuh diyakinkan lebih jauh bahwa 'uang tidak kasat mata' ini sama dilindunginya oleh negara dibanding uang fisik.

Tantangan Kepercayaan dan Perlindungan

Topik cashless society di negara maju berada di wilayah pengembangan teknologi dan media, skalabilitas serta  peningkatan value atas uang virtual. Tapi saya tidak melihat ini bisa menjadi topik utama membangun GNNT atau cashless society di Indonesia. Keduanya punya kultur yang berbeda: high trust society dan low trust society.

Di Indonesia dengan kultur low trust society, campaign utama GNNT sebaiknya diprioritaskan di masalah kepercayaan (trust) dan perlindungan (protection) atas uang virtual. Negara harus hadir di tengah-tengah transaksi uang virtual dan memastikan semua pihak dilindungi oleh regulasi yang tegas, jelas, efisien dan berbiaya rendah.

Penggunaan cashless juga menghadapi tantangan dari cultural value uang fisik. Tak hanya soal kepuasan psikologis atas pertukaran uang secara nyata, tapi juga memindahkan kepercayaan pengelolaan uang dari pribadi ke bank sebagai pengelola uang virtual. Masyarakat juga masih dihantui oleh kisah bank rush 1998 dan bangkrutnya Bank Century 2008. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa mereka bisa punya akses sama mudahnya dan sama cepatnya terhadap uang mereka yang dulu disimpan di rumah menjadi disimpan di bank. Maka skalabilitas harus terus ditingkatkan terutama ke kawasan sub-urban dan rural dalam bentuk persebaran ATM, koneksi selular dan internet, PoS payment, mesin EDC wired maupun wireless dan bentuk lainnya. Ini semua rangka mempermudah nasabah mengakses dan menggunakan uang mereka yang dikelola bank.

Kredibilitas teknologi perbankan dan e-Commerce nasional juga harus ditingkatkan. ATM yang rusak, ATM tak bisa keluarkan uang, mobile banking yang 'ngadat', koneksi jaringan antarbank yang macet, internet banking yang di-pishing, situs belanja yang dibobol peretas, skimming di mesin ATM, duplikasi kartu kredit di merchant nakal, jelas akan memperburuk kepercayaan pada penggunaan uang virtual.

Tumpuan utama keberhasilan uang virtual sebagai layanan perbankan ada pada kepercayaan masyarakat kepada negara dan perbankan. Selanjutnya adalah kepercayaan antarmanusia dimana negara mesti hadir sebagai pelindung. Uang selamanya adalah soal kepercayaan. Dan kepercayaan itu adalah masalah utama dalam masyarakat kita. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun