Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cashless Society pada Low Trust Society

30 April 2015   10:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Metode pembayaran yang dipilih oleh konsumen e-Commerce Indonesia (sumber: Singapore Post)

Ignasius Warsito, Direktur Industri Elektronika Telematika, Ditjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi menyatakan prospek e-Commerce pada 2015 cukup menjanjikan dengan pertumbuhan 60%-70%. Menurutnya, pertumbuhan industri e-Commerce didorong oleh semakin membaiknya teknologi akses serta konektivitas langsung ke konsumen. [caption id="attachment_1581" align="aligncenter" width="600" caption="Nilai transaksi e-Commerce Indonesia. (sumber: Insideretail)"]

[/caption] [caption id="attachment_1575" align="aligncenter" width="566" caption="Pertumbuhan penjualan retail dan online di Indonesia (sumber: Singapore Post)"]
online vs offline
online vs offline
[/caption] Semua pihak mulai dari pelaku bisnis, investor dan pemerintah percaya dengan masa depan e-Commerce Indonesia yang gilang-gemilang dengan perputaran uang raksasa. Dan selayaknya kultur belanja online, transaksi dilakukan secara cashless. Namun masyarakat kita masih berbelanja online secara tradisional dengan membayar tunai lewat COD.

Di satu sisi, pelaku bisnis sudah melakukan berbagai 'gerakan Kung-Fu' untuk beradaptasi terhadap masyarakat Indonesia dengan kultur low trust society-nya. Satu demi satu menyediakan metode COD, kurir penunjang COD bermunculan dan clearing house sebagai perantara juga tumbuh besar. Tapi pelaku usaha sebatas ingin memenangkan pasar. Makin mereka memenangkan pasar dengan COD, maka GNNT akan makin kalah.

Saya pribadi sampai sekarang belum melihat peran aktif negara lewat regulasi soal perlindungan konsumen pada transaksi e-Commerce. Kalau pun ada, itu sebatas peraturan umum dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal konsumen membutuhkan dukungan regulasi yang nyata, praktis dan efektif dalam melindungi uang mereka. Sebagai contoh sebagaimana eBay memiliki kebijakan money back guarantee yang menyelesaikan masalah saya secara mulus seperti yang ditulis di atas. Saya tidak khawatir sedikit pun berbelanja di eBay dan membayar secara non-tunai karena tahu saya dilindungi oleh eBay.

Kebijakan money back guarantee yang dilakukan eBay itu sebenarnya bukan semata-mata 'kebaikan hati', tapi kepatuhan mereka terhadap regulasi Uniform Deceptive Trade Practices Act (UDTPA) yang diberlakukan oleh Federal Trade Commission (FTC). Saya yakin bukan hanya saya yang berharap ada regulasi serupa UDTPA di Indonesia yang memaksa setiap pedagang online memiliki kebijakan money back guarantee yang ramah dan melindungi konsumen.

Diskusi tentang cashless society di Indonesia masih berada dalam lingkup kampanye simplicity (mudah), speed (kecepatan) dan security (keamanan). Tapi bagaimana dengan protection (perlindungan) yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam low trust society?

Diskusi cashless society di Indonesia sebaiknya dimulai dari isu kepercayaan dan perlindungan. Sebagian besar masyarakat paham betapa mudah, efisien, cepat dan menguntungaknnya bertransaksi non tunai. Namun gerakan cashless society harus menghadapi tantangan berat ketika ia hidup dalam low trust society seperti Indonesia. Ketika itu lah negara harus hadir melindungi mereka. Masyarakat (pembeli dan penjual) boleh saja saling tidak percaya, namun negara harus memastikan hadir berada di tengah-tengah mereka, melindungi mereka berdua dan transaksi yang dijalankan. Perlindungan itu juga harus berbentuk kepastian hukum, adil, efisien, praktikal, cepat dan berbiaya rendah.

Kredibilitas Teknologi

Dalam tulisan saya Petaka Tunai di Phuket, saya menceritakan betapa bodoh dan naifnya saya dalam menilai sistem dan teknologi bank nasional. Padahal, saya seorang yang berprofesi di bidang informasi dan teknologi komunikasi dan tahu betul sistem teknologi perbankan itu sangat canggih. Tapi masih tidak percaya juga. Ketidakpercayaan itu harus saya bayar senilai Rp6,4 juta dari total modal Rp30 juta. Tidak hanya saya yang rugi, tapi orang seperti saya menghambat laju cashless society. Saya juga yakin orang seperti saya banyak, yakni orang yang masih ragu dengan kredibilitas teknologi perbankan nasional. Kelompok orang seperti saya perlu dididik dan diyakinkan.

Keraguan ini timbul melihat banyaknya peristiwa kegagalan transaksi non tunai. Sebut saja kartu ATM tertelan, mesin ATM rusak, uang dari ATM tidak keluar tapi sudah didebit, kartu dan PIN ATM digandakan lewat skimming, kartu kredit diduplikasi juga dengan cara skimming di merchant nakal, gangguan teknis antarbank ketika hendak transfer dana, maraknya penipuan lewat transfer ATM, malware di internet banking, dan masih banyak yang lain. Saya tahu masalah di atas beberapa terjadi karena kesalahan nasabah, tapi itu juga tidak mengurangi kadar kecemasan saya. Kejadian-kejadian buruk itu berlangsung setiap hari, baik karena kesalahan nasabah atau kelemahan sistem teknologi bank dalam penggunaan non tunai. [caption id="attachment_1579" align="aligncenter" width="600" caption="Lelucon satir tentang rendahnya kredibilitas teknologi uang virtual di Nigeria. (sumber: Businessday)"]

[/caption] Untuk menurunkan kecemasan itu pihak regulator dan bank tidak saja harus meningkatkan kredibilitas teknologi mereka, tapi juga terus mengedukasi penggunaan perangkat non tunai secara benar dan aman. Regulasi untuk melindungi nasabah dari 'kebodohannya sendiri' atau penipuan/tindak pidana, juga harus didorong lewat peraturan yang ramah pada nasabah, praktikal, efisien dan berbiaya rendah.

Saya membandingkan ini dengan pengalaman pribadi atas regulasi sebuah bank yang baru mengembalikan dana nasabah paling cepat 14 hari ketika mesin ATM mereka gagal mengeluarkan uang dan sudah terdebit. Padahal itu bukan kesalahan saya, tapi saya dipaksa' menunggu 2 minggu atas kesalahan bank itu sendiri. Bank tidak akan mau tahu apakah uang yang hendak diambil itu untuk biaya berobat, pendidikan, cicilan atau pembiayaan mendesak lainnya. Mereka hanya menjawab, "Itu sudah prosedur, Pak". Padahal, hal ini tidak akan terjadi kalau saya rela antre di kasir bank dan mengambil uang saya secara tunai.

Uang Virtual Mudah Disalahgunakan?

Kita masih ingat pada kasus 'sedot pulsa' lewat SMS premium yang merugikan pengguna ponsel sampai Rp1 triliun pada 2011 hingga layanan ini dihentikan pemerintah. Kredit ponsel atau biasa disebut pulsa, adalah salah satu bentuk uang virtual. Ketika itu pemerintah belum mengatur secara tegas tata niaga jasa konten lewat SMS premium. Celahnya disalahgunakan oleh penyedia konten (content provider) dan operator selular dengan mengambil pulsa konsumen tanpa izin atau cara lain yang manipulatif.

Dari kasus itu kita bisa manfaat uang virtual berupa simplicity dan speed disalahgunakan (abuse) oleh pihak-pihak yang berniat jahat. Sementara, pemerintah tidak tanggap dari segi regulasi yang mengatur tata niaga ini dan perlindungan konsumen. 'Biaya belajar' dari kasus ini bukan hanya Rp1 triliun yang mesti dibayar masyarakat, tapi juga menimbulkan trauma dan sentimen negatif terhadap uang virtual. Sekaligus, ini memperburuk kerja keras kita semua menciptakan Indonesia menuju high trust society.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun