Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tirani Social Media dan Spiral Kebisuan

12 Maret 2015   13:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:46 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="972" caption="Ilustrasi (sumber wikispace)"][/caption] Kita patut bersyukur dengan hadirnya internet dan social media yang membuat dunia lebih terbuka serta manusia yang lebih terhubung. Kita menyaksikan Twitter menjadi media kunci dalam gerakan Arab Spring sehingga muncul kosakata baru: Twitter Rebellion. Di sisi seberang kita menyaksikan Florance, mahasiswi asal Yogyakarta, yang di-bully di Facebook dan nyaris dikeluarkan dari UGM. Karakter Millennial atau Generation Y (rata-rata dari kita) yang tech savvy melahirkan kedekatan dan ketergantungan generasi ini pada internet, khususnya social media. Mereka tak lagi hanya hidup di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Kehidupan mereka di dunia maya melahirkan nilai baru: social reputation. Orang tak lagi hanya harus memperhatikan reputasi mereka di dunia nyata, tapi juga reputasi dunia maya yang salah satu alat ukurnya adalah social media. Social reputation membuat kita tidak sembarangan menulis di Facebook karena khawatir di-bully teman. Ia juga membuat kita menghindar dari perselisihan pendapat yang dalam di Twitter karena bisa memicu pertengkaran dan mengorbankan reputasi kita. Kita menjaga social reputation karena tahu bahwa kita juga hidup di internet dan kehidupan nyata kita bisa terdampak. Bukan cerita baru bahwa para HR Manager juga turut mencermati social reputation para pelamar kerja. Social media sebagai self-publishing menerapkan self-censorship. Arus informasi dan sensor tak lagi dipegang oleh otoritas dan media mainstream, ia berada dalam kendali banyak orang. Kendali berpindah dari otoritas ke mayoritas. Social media memang (nyaris) terbebas dari tirani otoritas, tapi ia harus menghadapi tirani mayoritas atau siapa pun yang mengendalikan mayoritas itu. Kita tidak lagi berhadapan dengan tentara bersenjata, tapi dengan kerumunan orang banyak. Social reputation dan tirani mayoritas telah melahirkan spiral kebisuan (spiral of silence). Social media membuat kita bisa bebas mengeluarkan atau bertukar pendapat. Tapi kita tahu kita bisa dihajar habis-habisan dan menderita karena pendapat kita di social media. Kita mungkin punya daya kritis, analisa dan pengetahuan yang bagus ketimbang mayoritas tentang sebuah topik. Namun kita memilih diam karena tahu akan menghadapi kerumunan mayoritas yang berbeda pendapat dengan kita dan kerumunan itu sulit menerima perbedaan pendapat.

Kemudian kita memilih diam. Kata Jean-Jacques Rousseau, diam adalah citra kematian. Pada 2014 Pew Research Center melakukan riset tentang bagaimana publik menggunakan hak berpendapatnya dalam menanggapi topik aktivitas mata-mata Pemerintah AS yang dibocorkan Edward Snowden. Dari 1.801 orang dewasa yang disurvei 44% setuju dengan aktivitas mata-mata itu, 49% tidak setuju. 86% bersedia mendiskusikan topik ini, tapi hanya 42% yang bersedia mendiskusikannya di social media. Mereka yang bersedia ini mayoritas hanya mau berdikusi bila kawan atau audien mereka punya pandangan yang sama. Social media rupanya adalah (juga) echo chamber yang lain: di mana sebuah ide direpetisi dan didengungkan pada sebuah kelompok dengan pemikiran yang sama. Social media yang diharapkan menjadi medium yang ideal bagi pertukaran ide, masih menjadi alat untuk mengasupi keberpihakan dan keyakinan kelompok secara rutin.
Sehari-hari kita melihat news feed di Facebook tentang teman kita yang seakan-akan tidak ada lelahnya menfitnah atau menjelekkan orang lain. Atau teman yang isi lini masanya hanya tentang bagaimana cara yang ideal menyingkirkan orang lain dengan keyakinan berbeda. Kita mungkin punya pendapat yang berbeda dan ingin bertukar pendapat dengannya. Namun kita tahu pertukaran pendapat itu akan cepat berubah menjadi perdebatan dan arena bully karena kita masuk ke sarang mayoritas yang punya pendapat berbeda. Niat pertukaran ide akhirnya jadi tidak produktif, mengorbankan reputasi dan bikin sakit hati. Lalu kita memilih diam. Padahal, topik di mana kita memilih diam sangat mungkin penting bagi kelangsungan komunitas, masyarakat, daerah atau negara kita - dimana pertukaran ide (secara sehat) memainkan peranan amat penting. Namun kita memilih diam karena tahu akan berhadapan dengan tirani mayoritas yang bisa ‘membinasakan' kita. Kita cemas di-bully, dikucilkan, tidak diterima, jadi musuh bersama atau depresi. Di sisi lain kita melihat perpindahan kekuasaan dari otoritas atau media mainstream ke mayoritas ini tidak lantas menciptakan dengungan yang murni. Transfer kekuasaan ini ikut dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki sumberdaya untuk mengendalikan arah topik dan persepsi mayoritas. Pada Pilkada, Pemilu dan Pilpres kita melihat relawan (dan yang bukan relawan) diorganisir untuk memanajemen isu di social media agar bisa menjadi pendapat mayoritas. Pada tulisan Tabir Gelap Industri Follower & Liker Palsu, saya juga menjelaskan tentang industri robot di social media yang sedemikian canggihnya sehingga bisa dijadikan alat manajemen isu. Tugas mengarahkan opini di social media telah menjadi ladang pekerjaan bagi manusia dan bukan manusia. Menyikapi ini tidak semudah seseorang berteriak ‘Entaskan kebisuan!'. Diperlukan waktu untuk menekan sikap permisif dan diskriminatif, serta meningkatkan objektivitas, independensi dan netralitas secara bersama-sama. Kita mungkin bisa saja saat ini nyaman ketika berada dalam kelompok mayoritas dan berlaku tiran kepada kelompok minoritas. Namun tidak selamanya kita berada dalam mayoritas dan tidak selamanya pula pendapat mayoritas pasti benar. Ketika mereka yang memiliki sumberdaya besar punya kemampuan untuk mengendalikan pendapat mayoritas, cepat-lambat kita akan masuk ke dalam kelompok korban. Kita sebenarnya sedang membahayakan peradaban masyarakat kita sendiri saat membiarkan tirani mayoritas ini berlangsung terus-menerus dan ikut melestarikannya. [*] Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari tulisan aslinya di Blog Social Lab dengan penulis yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun