[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi (soclab.co)"][/caption] Pada 2004 terjadi kemarau panjang di Balikpapan, Kaltim hingga masuk bulan Ramadan. PDAM menggilir pasokan air seminggu dua kali hingga Idul Fitri. Ketika Lebaran, hampir semua rumah yang merayakan selalu diisi oleh percakapan tentang krisis air ini. Ada sekitar 15 rumah yang saya kunjungi saat Lebaran, di 15 rumah itu juga orang-orang (tuan rumah dan para tamu) bicara soal krisis air. Bencana krisis air telah menyatukan masyarakat dalam sebuah satu tema percakapan. Menciptakan percakapan yang kemudian diperbincangkan oleh masyarakat luas secara bersama-sama adalah dambaan setiap brand dan (mayoritas) pengguna social media. Di Twitter kita mengenalnya dengan trending topic. Brand mana yang tidak mau dipercakapkan (secara positif) oleh jutaan orang dan namanya tercantum dalam trending topic? Keinginan ini pasti berujung pada pertanyaan: bagaimana cara menciptakan konten yang viral (menular)? #SaveHajiLulung adalah salah satu contoh yang sempurna bagi kita menciptakan konten yang viral. Berterimakasih lah pada sains. Robert Plutchik, profesor ilmu kejiwaan dari Albert Einstein College of Medicine melahirkan teori Wheel of Emotions (Roda Emosi) yang tergambar dalam lapisan. Lapisan dasarnya adalah rage (kemarahan), vigilance (kewaspadaan), ecstasy (kegembiraan), admiration (kekaguman), terror (teror), amazement (ketakjuban), grief (kesedihan), loathing (kebencian).
Emosi-emosi ini adalah pencetus (trigger) manusia melakukan respons. Di social media respons ini direspons dalam bentuk engagement (interaksi): retweet, favorite, mention, reply, like, share, repath dll -- fitur-fitur yang membuat konten bisa viral. Apa kah emosi menjadi trigger terpenting dalam respons? Ya. Menurut penelitian The Institute of Practitioners in Advertising (IPA), efektivitas kampanye ditentukan seberapa besar mereka mampu mencetus respons otak, di mana respons emosi berada di urutan teratas dengan 31%. Logika dan rasionalitas hanya 16%. Kombinasi antara emosi dan logika hanya 26%.
Upworthy sebagai pengelola konten yang terkenal reputasinya dalam membuat konten viral, membuatnya lebih sederhana. Dua emosi pencetus terpenting yang mereka rumuskan adalah
happiness (kebahagiaan) dan kemarahan (anger).
Happiness dan anger ini memerlukan sebab (cause) agar bisa tercetus. Upworthy memetakannya sebagai berikut:
- Ada pahlawan (hero) dan orang jahat (villain)
Ada yang menang dan kalah Lucu/menghibur Human-related (menyangkut manusia) Politis Melegakan Praktikal
Semua cause (sebab) ini ada pada tema
Lulung dan kisah yang melatari atau terjadi sebelumnya.
Pada topik Haji Lulung semua cause ini melebur, menciptakan fusi, hingga menjadi 'nuklir' emosi yang meledak. Akhirnya #SaveHajiLulung menjadi trending topic di Indonesia dan dunia selama berhari-hari. Sebelum #SaveHajiLulung menjadi trending, sebenarnya sosok Lulung telah memenuhi beberapa aspek dalam cause. Ia dianggap sebagai villain (orang jahat) dan Ahok sebagai hero (pahlawan). Topiknya juga menyangkut manusia dan politik. Namun topiknya belum bisa trending karena belum memenuhi cause yang lain. Belum 'ngangkat'. Ketika terjadi pertemuan antara Ahok dan DPRD yang dimediasi Kemendagri pada Kamis 5 Maret 2015 lalu, baru lah terjadi peristiwa-peristiwa yang mencetuskan cause baru. Anggota DPRD (yang sudah jadi villain sebelumnya) berkata sangat kasar dan kotor kepada Ahok -- yang selalu mereka tuduh kasar. Anggota DPRD membuktikan bahwa diri mereka sendiri ternyata lebih kasar daripada Ahok. Sampai titik ini Ahok (hero) menang dan DPRD (villain) kalah. Ahok juga mampu menyudutkan DPRD dalam pertemuan itu. Kemenangan Ahok di hari Kamis menimbulkan kelegaan, seperti kebahagiaan kita melihat seorang hero menang. Kemudian ditambah dengan pernyataan Lulung -- yang digambarkan sebagai pemimpin para villain -- yang salah ucap soal UPS menjadi USB. Meledak lah tawa orang-orang. Cause lucu/menghibur sudah tercipta. Topik ini kemudian dipercakapkan dengan cara yang sederhana seperti tweet, post, meme bahkan video. Jadi bukan urusan sulit untuk bersama-sama merayakan 'kekalahan' Lulung dan 'kemenangan' Ahok.
Secara cepat #SaveHajiLulung menjadi social currency (nilai seseorang di pergaulan social media) karena latarbelakang persoalan Ahok-Lulung adalah persoalan seluruh masyarakat Indonesia. Ahok dianggap sebagai sosok yang diidam-idamkan banyak orang sebagai kepala daerah di daerah mereka, kegemasan dan kemarahan massal terhadap perilaku anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia, isu korupsi, Ahok sebagai lambang kemajuan Indonesia dalam kebhinekaan dan Lulung dianggap sebagai sosok yang rasis, diskriminatif dan segala nama buruk yang bisa ditempelkan padanya.
#SaveHajiLulung adalah simbol kemenangan, kebahagiaan, kegelisahan, kemarahan, kelucuan sekaligus kelegaan bersama masyarakat Indonesia. Karena itu lah netizen Indonesia bersatu-padu ikut serta dalam topik ini dan merasa mereka mendapatkan sebuah nilai lebih (social currency) karena kepekaan dan kontribusi mereka dalam topik. Banyak teman saya yang tidak aktif di akun social media mereka, ketika #SaveHajiLulung trending mereka ikut-ikutan membuat konten atau melakukan engagement dalam bentuk reply, retweet, like dan share. "Lama tidak ngetwit. Merasa berdosa kalau tidak ikut-ikutan #SaveHajiLulung," tulis seorang teman di timeline akun Twitter-nya. #SaveHajiLulung adalah contoh yang sempurna untuk belajar menciptakan konten dan menemukan topik yang viral. Tapi sekaligus memberitahu kita begitu rumit untuk mencapainya (dan perlu keberuntungan), serta tidak setiap hari kita bisa melakukannya.
[*] Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari tulisan aslinya di Blog Social Lab dengan penulis yang sama.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Inovasi Selengkapnya