Dalam beberapa kesempatan saya sebagai trainer social commerce di lingkup korporasi, saya mendapatkan pertanyaan: "Perusahaan saya sudah punya akun social media, bagaimana saya menghitung berapa pendapatan yang sudah saya hasilkan dari social media ini?". Fine, old chap. This is getting serious. Ini adalah pertanyaan terbesar dan terpenting di alam semesta social media: Return of Investment (RoI). Pertanyaan di atas itu benar, tapi tidak sepenuhnya tepat. Benar karena setiap investasi yang anda tanamkan dalam kegiatan usaha HARUS kembali dalam bentuk uang, atau hal lain yang dapat diukur; prinsip RoI. Tidak sepenuhnya tepat karena si penanya tidak menyampaikan terlebih dulu apa saja tujuan mereka masuk rimba raya social media dan goal yang telah mereka tentukan di awal. Kemudian saya menjawab, "Anggap saya bos anda. Setahun lalu anda minta uang kepada saya Rp100 juta untuk beriklan di sebuah billboard di jalan raya. Saya berikan uang itu. Hari ini saya datang kepada anda bertanya berapa banyak pendapatan yang sudah anda hasilkan dari konsumen yang membeli produk kita karena melihat iklan itu? Saya ingin jawaban dalam bentuk Rupiah karena saya ingin uang saya kembali dan berkembang". Di depan saya saat itu sekitar 30 orang peserta training yang rata-rata adalah orang-orang public relation dan marketing pemilik brand besar nasional dan regional. Semuanya beriklan di banyak medium: billboard, koran, radio, majalah bahkan televisi. Tapi tak ada satu pun yang bisa menjawab. Tapi salah seorang peserta menyela, "Pertanyaan si bos salah, karena iklan bertujuan untuk meningkatkan awereness". That's it! Anda ingin membangun awereness, maka return-nya adalah awereness. Tujuan awereness adalah membuat orang ‘aware'. Berapa jumlah orang yang aware, that's your return. Tapi, bukan kah kita semua ingin mengkonversikan para audiens iklan kita menjadi buyer? Benar sekali! Namun men-drive audiens iklan menjadi buyer atau prospect, hanya salah satu alasan mengapa brand terjun di social media. Tentu saja kita akan bahas soal konversi audiens ke buyer lewat social media ini dilakukan, lewat tulisan saya yang lain. Kali ini kita fokus dulu ke RoI. Alasan penting mengapa brand atau pelaku usaha di Indonesia masih sangat sedikit yang serius beraktivitas di social media adalah karena pertanyaan di atas tadi: "Saya investasikan sekian, tapi berapa return yang saya dapatkan?" Brand belum bisa mengukur return yang bisa dihasilkan dari investasi social media. Jadi wajar saja social commerce dilewatkan. Orang-orang dengan expertise dan keterampilan di social commerce business juga masih sangat terbatas di Indonesia. Pendidikan formal social commerce juga baru tersedia di luar negeri dengan strata Master, paling dekat di Singapore di mana alumni dari Indonesia bisa dihitung jari. Di sisi lain, Indonesia yang lebih sebagai negara konsumen ketimbang produsen, para netizen-nya baru menggunakan social media sebagai media ‘iseng-iseng', bukan perangkat produktivitas. Semua ini melengkapi derita social commerce yang secara kualitas tumbuh begitu lamban. Namun secara kuantitas tumbuh dengan baik - meski sehabis itu ditinggalkan. Toh bikin akunnya gratis. Social commerce, mesti diakui, belum ‘sedewasa' media konvensional yang lain yang sudah bisa diterima cara kerjanya. Pelaku profesional social commerce harus berhadapan dengan data-data yang begitu kompleks untuk mengukur hasil kerjanya. Coba kita lihat gambarannya.
- Anda memasang iklan billboard di sebuah jalan raya yang diasumsikan setiap hari lalu-lalang 200.000 orang. Selesai. Anda tidak tahu berapa orang yang lalu-lalang itu melihat iklan anda per hari. Memang begini cara kerjanya, anda maklum dan menerima.
- Anda memasang iklan di koran atau majalah dengan oplah 25.000 per edisi. Selesai. Anda tidak tahu berapa orang yang melihat iklan anda itu per hari. Memang begini cara kerjanya, anda maklum dan menerima.
- Anda memasang iklan di sebuah akun buzzer social media dengan 100.000 follower. Anda mungkin berharap selesai karena berpikir cara kerja social media sama dengan media konvensional. Namun ketika seseorang ‘menyadarkan' anda bahwa tidak selesai sampai di situ, anda akan langsung berhadapan dengan setumpuk data yang akan membuat anda teriak, "Data apa ini! Bagaimana cara membacanya! Apa hubungannya data ini dengan jualan saya!". Padahal itu baru data kinerja iklan pada buzzer, belum kepada data kinerja misalnya anda memiliki akun social commerce sendiri yang jauh lebih kompleks.
Sayangnya, data-data itu sangat berharga bagi bisnis anda. Very very worthed, I assure you. Ada jurang yang sangat jauh antara kerja media konvensional dengan social media yang menuntut cara berpikir berbeda. Ketika kita harus berpikir dengan cara yang berbeda, kita dituntut mempelajari hal-hal baru yang bisa sangat sangat rumit bagi sebagian orang. Sampai di sini bisa membuat frustasi. Namun anda tidak sendirian. Dalam riset dan survei yang dilakukan oleh Altimeter Group, perusahaan riset asal Amerika Serikat pada 2012 tentang kinerja pemilik brand menyusun RoI social commerce, menyatakan 56% brand tidak punya kemampuan menghubungkan antara social media dan hasil yang relevan bagi bisnis. Riset terakhir dari AC Nielsen, 80% brand yang mengaktifkan social commerce masih kesulitan dalam menentukan jumlah laba bersih yang dihasilkan dari program social commerce mereka. 44% responden mengaku sudah melakukan analisa dan pengukuran data social commerce, tapi masih ragu apakah data itu relevan dengan jerih payah dan investasi mereka. Bahkan dari riset Adobe Inc, 88% pelaku marketing menyatakan mereka tidak bisa mengukur efektivitas social commerce, dan 52% merasa frustasi menyusun RoI sebagai indikator keberhasilan.
Wes Nicholas, Co-Founder dan CEO MarketShare mengatakan, "Pelaku bisnis hanya mau berinvestasi ketika mereka sudah paham betul bagaimana sesuatu bekerja. Karena itu mereka perlu mendapatkan pandangan yang komprehensif atas performa marketing mereka, bukan hanya sekedar taktik dengan meluaskan medium pemasaran."
Ali Ardalan, Media and Analytics Strategist di Intel Corp secara ekstrem mengatakan bahwa social media telah menjadi data input yang kritikal untuk membuat keputusan dan mempelajari studi kasus bisnis. Ia menuturkan,
"Mengapa kita melakukan RoI di social commerce? Untuk menjustifikasi apakah kita harus terjun di social commerce ketimbang project lain. Kenapa kita membutuhkan uang investasi di social commerce? Karena kita telah menyusun target yang hendak kita capai dari aktivitas social commerce yang mana itu akan berdampak langsung atau tidak langsung pada income. Apakah anda sedang membuang-buang uang di social commerce? Apakah anda bisa mendapatkan hasil yang sama dengan hanya 20% bujet? Maka anda harus membuktikannya dengan membandingkan kinerja investasi anda di medium lain."
Ini lah alasan atau tujuan penting pemilik brand terjun di social media:
- Meningkatkan awareness dan branding
- Meningkatkan penjualan dan prospect
- Meningkatkan public relation
- Membangun reputasi
- Membangun komunitas
- Menfasilitasi customer service
- Membangun riset, pengembangan dan intelijen
Menghitung RoI dalam bisnis sangat gampang, kita semua tahu: ((pendapatan - pengeluaran) / pengeluaran) * 100% = RoI Namun bagaimana menjadikannya relevan dengan investasi dan aktivitas social commerce kita? Kebanyakan brand melakukan kesalahan fatal dalam mengartikan ‘R' pada RoI sebagai ‘Revenue', bukan sebagai ‘Return'. Return seringkali diartikan sebagai revenue - yang diukur dengan uang. Padahal, ‘Return' tidak hanya soal uang, namun ia tetap HARUS berdampak pada revenue atau uang. Mari kita kembali pada pertanyaan peserta trainning di atas: "Perusahaan saya sudah punya akun social media, bagaimana saya menghitung berapa pendapatan yang sudah saya hasilkan dari social media ini?". Si penanya bertanya soal ‘Revenue of Investment' bukan Return of Investment, karena ia bertanya soal pendapatan atau revenue yang hanya bisa diukur lewat uang. RoI social commerce dalam bentuk revenue atau income hanya bisa diukur apabila anda melakukan aktivitas sales di social commerce atau menjalankan taktik konversi dari social media audience menjadi offline buyer (saya jelaskan caranya di tulisan lain), yang berarti anda ingin direct revenue dari social commerce. Namun bila aktivitas social commerce anda adalah untuk membangun reputasi, meningkatkan awareness, membangun komunitas, maka tidak ada angka uang yang bisa dijadikan ukuran ‘Return', karena memang sejak awal investasi anda di social commerce tidak di-set up untuk melakukan kegiatan direct sales. Tapi pada akhirnya setiap kegiatan awareness building tetap harus memberi kontribusi pada revenue. Sehingga pertanyaan seharusnya adalah:
"Apa return yang saya dapatkan?", bukannya selalu, "Berapa uang yang saya dapatkan?".
What do I get in return? That's the truly question.
Tidak hanya ada lontong dalam sepiring lontong sayur. Tapi tidak ada lontong sayur tanpa lontong. Maka fokuslah pada ‘Return', dan berbahagia lah kita semua bahwa semua return dalam aktivitas social media bisa diukur dalam bentuk data yang transparan dan detil. Saya akan membantu anda menyusun angka ‘Return' pada 7 tujuan aktivitas social commerce di atas dalam tulisan Langkah Menyusun RoI Social Commerce. Sebelum anda bisa menentukan dan menghitung RoI social commerce anda - yang berarti anda harus melepaskan dulu pola berpikir dan kerja publikasi/iklan media konvensional-, saya sangat menyarankan anda tidak perlu dulu membuang waktu dan investasi di rimba social media, atau itu hanya akan membuang-buang uang dan waktu anda. Bila anda sudah siap, maka persiapkan juga diri anda merasakan betapa besar nikmatnya hasil yang bisa didapatkan dari social commerce - dibanding media konvensional - bagi bisnis anda.[*] Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari tulisan aslinya di Blog Social Lab dengan penulis yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H