Self Diagnosis Soal Kesehatan Mental Sendiri, Bahaya?
Menghadapi hidup yang penuh tekanan, kadang kita merasa ada yang nggak beres dengan kesehatan mental kita. Tapi, saat belum sempat ke profesional, sering kali kita tergoda untuk melakukan "self-diagnosis" alias mendiagnosis diri sendiri. Apakah ini bahaya? Yuk, kita bahas dengan santai, tapi serius.
Google, Dokter Kita Semua?
Zaman sekarang, siapa sih yang nggak googling kalau lagi ada apa-apa? Sakit kepala? Googling. Susah tidur? Googling. Merasa sedih berkepanjangan? Tentu saja, googling! Meskipun internet punya banyak informasi, sayangnya, nggak semua bisa dipercaya, apalagi soal kesehatan mental. Informasi di internet sering kali general, dan tanpa pemahaman mendalam, bisa jadi kita salah paham.
Bayangin, kamu cari tahu soal kecemasan, lalu artikel yang kamu baca bilang, "Kamu mungkin mengalami gangguan kecemasan parah." Duh, padahal bisa jadi kamu cuma butuh istirahat lebih banyak atau sekedar ngobrol sama teman. Intinya, Google bisa jadi teman baik, tapi jangan anggap dia sebagai dokter ya!
Label itu Berat, Membebani Diri Sendiri
Self-diagnosis bisa membuat kita menempelkan label pada diri sendiri yang belum tentu benar. Misalnya, kamu merasa sangat lelah dan sulit berkonsentrasi, lalu memutuskan, "Wah, aku pasti depresi." Label ini bisa jadi beban berat karena kita merasa harus menghadapi semua ini sendirian.
Terkadang, kita juga bisa terjebak dalam pikiran, "Aku memang seperti ini, nggak bisa diubah." Padahal, kenyataannya, perasaan dan kondisi mental kita dinamis dan bisa membaik dengan bantuan yang tepat.
Menciptakan Kekhawatiran yang Tidak Perlu
Self-diagnosis bisa bikin kita khawatir berlebihan. Misalnya, kamu merasa cemas saat presentasi, lalu menduga, "Aku pasti punya fobia sosial." Padahal, rasa cemas dalam situasi tertentu itu normal kok. Kalau langsung menilai diri sendiri dengan gangguan tertentu, kamu bisa jadi lebih stres dan cemas.