Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor Degree of Public Education University of Ibn Khaldun Bogor

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Bisa Menulis Semua Hal Tentangmu, Tapi Aku Tidak Akan Pernah Berbicara Denganmu Kembali

26 Desember 2024   23:45 Diperbarui: 26 Desember 2024   23:32 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku Bisa Menulis Semua Hal Tentangmu, Tapi Aku Tidak Akan Pernah Berbicara Denganmu Kembali

Ada saat-saat tertentu dalam hidup, saat kita merasa begitu dekat dengan seseorang, seperti dua jiwa yang terhubung dengan cara yang tak terlihat. Kita merasa seolah-olah bisa berbicara tanpa kata, hanya dengan tatapan atau keheningan. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kita mungkin menemukan bahwa hubungan itu mulai retak. Kita bisa merasa seakan-akan semuanya berjalan lancar, namun tiba-tiba kita tersadar bahwa sesuatu telah berubah tanpa kita benar-benar menginginkannya. Dan aku pun mulai menyadari, bahwa meskipun aku bisa menulis banyak hal tentangmu, aku tidak akan pernah berbicara denganmu lagi.

Aku bisa menulis tentang setiap kenangan kita, yang dulu terasa begitu hidup dan nyata. Tentang bagaimana matamu berbinar saat kita berbicara tentang impian-impian kita, tentang perjalanan yang ingin kita lakukan bersama, tentang tawa yang mengisi ruang kita tanpa jeda. Aku bisa menulis tentang bagaimana kamu membuatku merasa istimewa, seperti seseorang yang selalu ada di sampingku, mendengarkan setiap keluh kesah dan kegembiraanku. Aku bisa menulis tentang bagaimana kita berbagi rahasia, percaya pada satu sama lain seperti dua orang yang tak akan pernah saling mengkhianati. Semuanya terasa begitu sempurna pada saat itu, seperti dunia ini hanya milik kita berdua.

Namun, seperti kebanyakan kisah, tidak ada yang abadi. Kita sering tidak tahu kapan tepatnya segalanya mulai berubah, tetapi suatu hari kita terbangun dan merasa bahwa ada jarak di antara kita. Tidak ada perpisahan yang jelas, tidak ada kata-kata yang menyakitkan, hanya keheningan yang perlahan mengisi ruang yang dulu penuh dengan percakapan hangat. Entah apa yang terjadi, tapi aku mulai merasakan bahwa kita sudah berjalan di jalur yang berbeda. Kamu tak lagi menjadi orang yang bisa aku andalkan, dan aku tak lagi merasa seperti bagian dari hidupmu. Dan, meskipun aku ingin terus berpegang pada kenangan itu, aku tahu bahwa aku harus melepaskan.

Melepaskan bukan berarti aku membenci apa yang pernah kita miliki. Tidak, aku sangat menghargai setiap momen yang kita lewati bersama. Tetapi kadang, kita harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal memang tidak bisa dipertahankan, meskipun kita ingin sekali mempertahankannya. Kita mungkin pernah berjanji untuk selalu ada satu sama lain, tetapi kenyataan tidak selalu sejalan dengan janji. Ketika rasa sakit lebih dominan daripada kebahagiaan, ketika kata-kata tak lagi bisa menjelaskan perasaan, mungkin itu adalah tanda bahwa kita sudah saatnya untuk berhenti.

Aku bisa menulis tentangmu seharian, mengingat semua hal yang pernah kita bagikan. Aku bisa menulis tentang bagaimana hatiku dulu terasa begitu penuh karena kehadiranmu, bagaimana dunia seolah-olah lebih terang saat kita bersama. Tetapi di sisi lain, aku juga sadar bahwa aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang tidak bisa kembali. Aku tidak bisa terus berbicara tentangmu ketika kenyataan menunjukkan bahwa kita sudah saling menjauh. Mungkin, terkadang, hal yang terbaik adalah membiarkan kata-kata itu berhenti.

Aku tidak akan pernah berbicara denganmu lagi. Bukan karena aku marah atau kecewa, tetapi karena aku tahu bahwa dalam diam kita bisa belajar untuk melepaskan. Apa gunanya terus berbicara jika itu hanya membuat kita semakin jauh? Apa gunanya mendengarkan kata-kata yang tidak lagi membawa makna? Tidak ada yang bisa kita lakukan jika hanya keheningan yang bisa mengungkapkan semua yang tidak bisa kita ucapkan. Aku memilih untuk menulis, untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam, tetapi bukan untuk memaksakan kembali hubungan yang sudah tidak bisa berjalan. Aku menulis bukan untuk mencari jalan kembali, tetapi untuk merelakan dan melanjutkan hidup.

Mungkin, pada akhirnya, kita memang perlu untuk berhenti berbicara, agar kita bisa mendengar suara hati kita sendiri. Suara yang mungkin sudah lama tertutup oleh kebisingan percakapan yang tidak lagi berarti. Aku bisa menulis tentangmu, tentang semua kenangan indah yang pernah ada, tentang harapan yang tak terwujud, tentang perasaan yang tak bisa dipahami. Tetapi, aku tahu bahwa aku harus berhenti. Aku tidak akan berbicara denganmu lagi, karena kadang, yang terpenting adalah berani menerima kenyataan bahwa kita sudah tidak bisa bersama lagi. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja, saatnya sudah tiba untuk berpisah.

Aku akan menulis semua hal tentangmu, dan mungkin itu adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan kita. Tapi aku juga tahu, ini adalah cara untuk mengakhiri sesuatu yang telah berakhir. Tidak perlu kata-kata lagi, hanya diam yang berbicara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun