Dalam waktu lima tahun itu, aku mengira bahwa aku dicintainya. Merasa sangat yakin bahwa dia sedang memperjuangkan aku. Aku merasa bahwa setiap yang dia tulis tentang cinta, jodoh, dan penantian itu adalah untukku. Kala itu aku bahagia. Sangat bahagia.Â
Aku bisa yakin seperti itu karena memang dia menunjukkan sikap berbeda padaku. Sempat dia bertanya tentang keluargaku, menceritakan keluarganya padaku, menceritakan masalahnya padaku, memberiku ucapan yang unik saat ulang tahun, menuliskan namaku saat dia berpijak di atap Jawa barat tanpa aku pinta, bahkan meminta do'aku setiap apapun yang akan dia lakukan.Â
Dengan sikap seperti itu, siapa yang tak mengira sedang diperjuangkan?Â
Tapi pagi ini, aku faham semuanya. Setelah panjangnya waktuku dalam menunggu kepastiannya, pagi ini dia menuturkan bahwa ia tengah menunggu seorang perempuan. Dan perempuan itu bukanlah aku.Â
Tak terkira rasa kecewanya diriku.Â
Menatap untaian kata penjelasannya, aku hanya bisa tersenyum seraya menangis. Dengan tangan gemetar, aku terus membaca pesannya berulang ulang. Berharap aku hanya salah lihat. Berharap aku menemukan namaku dalam pernyataan penantiannya. Tapi nihil. Jelas namaku tak ada di sana, bagaimana mungkin namaku terpatri dalam hatinya?Â
Dulu, aku pernah berpikir, akan seberapa sakitnya aku saat semua kemungkinan terburuk ini terjadi.Â
Tapi ternyata, saat semuanya terjadi, apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi. Di awal aku mengetahui kenyataannya, aku memang menangis. Sulit untuk menerima. Namun segera setalah sholat Dhuha kutuntaskan, Allah dengan indah menyelipkan ketenangan. Bahwa mencintai makhluknya tak akan pernah abadi, bukan? Ini salahku. Salahku yang terlalu berharap pada hati yang abu, dan terlalu menggebu dalam meminta makhluk yang fana itu.Â
Usainya, aku tersenyum. Berusaha menerima dengan baik setiap kenyataan yang tak sesuai dengan keinginanku. Bukankah manusia tak bisa memilih apa yang akan terjadi dalam kehidupan?Â
Aku tak punya kuasa apa apa dalam masalah apapun. Terutama takdir.Â
Segera kuseduh kopi. Sengaja tak kutambahkan gula. Agar setiap pahitnya bisa ku nikmati sebagai bentuk pembelajaran untuk ikhlas menerima setiap ketetapan.Â