Nama : Hilma Sofia Dwi Wijayanti
NIM : 204102030017
Politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang dibentuk. Berkenaan dengan politik hukum penegakan HAM, berdasarkan pada berbagai definisi politik hukum, merumuskan bahwa politik hukum penegakan HAM adalah kebijakan hukum nasional yang berkaitan dengan perlindungan seluruh warga negara Indonesia dari pelanggaran HAM yang berat. Politik hukum tersebut dapat dilihat pada produk peraturan hukum yang terkait dengan perlindungan HAM.
Politik hukum nasional Indonesia terkait dengan Perlindungan HAM dapat dilihat salah satunya pada UU No. 26 Tahun 2000. Dengan adanya UU ini memberikan jaminan keadilan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat, yakni dengan adanya suatu peradilan bagi para pelaku HAM berat. Namun demikian, UU ini mengandung banyak kelemahan yang mengakibatkan proses peradilan bagi para pelaku pelanggaran HAM berat tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Beberapa kelemahan dari UU tersebut di antaranya adalah :
- Adanya kewenangan DPR untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 ayat (2). Rumusan ini bisa ditafsirkan bahwa DPR yang dapat menentukan dugaan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat. Terlebih bahwa lembaga semacam Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik yang dalam setiap pertimbangan untuk keputusan lebih banyak dilakukan berdasarkan kepentingan politik dan bukan berdasarkan argumen hukum sebagaimana hasil kesimpulan dari penyelidikan Komnas HAM maupun Penyidikan Kejaksaan Agung. Pengaturan yang demikian kontradiktif dengan ketentuan yang menyatakan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM.
- Kelemahan yang mendasar dari UU No. 26 tahun 2000 adalah perubahan dan perbedaan konsep yang terdapat dalam UU No. 26 tahun 2000, di mana hal ini diakibatkan oleh kesalahan, baik sengaja atau tidak disengaja, dalam penerjemahan dari konsep yang terdapat dalam Statuta Roma ke dalam UU No. 26 tahun 2000. Meskipun terlihat sepele, kesalahan penerjemahan ini pada akhirnya secara substansial mempengaruhi proses pembuktian dari elements of crime dari delik yang dimaksud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H