[caption id="attachment_104283" align="alignleft" width="275" caption="Keuangan Yang Maha Kuasa"][/caption] Heboh bank century yang menyedot perhatian dan waktu para penggede negeri berbilang bulan itu belum lagi reda, telah muenyusul geger markus dan raibnya duit milyaran dilingkungan petinggi Polri. Para penggede itu, baik eksekutif maupun yang katanya mewakili rakyat ribut tak jelas juntrungannya selama ribuan jam, tak peduli pekerjaan utamanya yakni memakmurkan rakyat. Mereka sibuk saling berebut duit dengan mengatasnamakan rakyat, tetapi bukan untuk rakyat. Alih-alih untuk rakyat, lha... duit itu kan dari pemberian rakyat lewat istilah yang namanya pajak. Itu baru 2 kasus dari ribuan bahkan tak terbilang banyaknya perkara yang meributkan uang. Berpangkal atau berujung pada uang. Istilah UUD pun sudah tak berkonotasi lagi dengan konstitusi, melainkan Ujung-Ujungnya Duit. Mentalitas korup dan kebiasaan korupsi disegala lapisan masyarakat dan di semua segi kehidupan telah mengakar kuat dan membudaya (tak usahlah berkilah itu bukan budaya dengan segala terminologinya). Apapun itu kalau sudah menjadi kebiasaan dan hidup dalam suatu masyarakat, ya budaya namanya, mosok mau diganti dengan pakdaya? Tragis dan menyedihkan! Uang terbukti telah begitu berkuasa di segala aspek kehidupan kita! Mulai dari urusan KTP hingga urusan Kartu Anggota Partai. Dari urusan masuk sekolah hingga masuk kerja. Dari urusan ijin usaha hingga ijin menutup usaha. Silakan anda teruskan sendiri daftarnya..., saya yakin tak akan selesai dalam 2 hari 2 malam! Pungli dan korup mersimaharajalela, dengan seribu wajah bagai Dasamuka. Memilukan melihat nilai-nilai luhur yang dikandung dalam Dasar Negara kita, Pancasila, telah begitu dinistakan oleh kekuasaan uang berikut keserakahan yang selalu menyertainya. Untuk perkara Ketuhanan YME saja kita tak sungkan menggunakannya / megatasnamakannya demi uang atau dengan uang kita menggunakannya demi kekuasaan. Tengokah Departemen Agama yang semestinya diurus oleh dan mengurusi soal akhlak pun berlepotan dengan korupsi (masih ingat soal Dana Umat?). Dan lembaga-lembaga keagamaan pun tak jarang memanfaatkan "kesuciannya" demi uang atau sebaliknya. (Bukankah sangat sulit menolaknya jika ada yang datang "menodong" dengan membawa nama lembaga-lembaga "suci" seperti itu). Dalam urusan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, begitu banyak pelanggaran HAM demi uang atau dengan uang. Orang saling bertikai, melecehkan martabat, memusuhi kaum lain demi uang atau menggunakan uang untuk itu. Dengan atau demi uang kita memaksakan kehendak kita, merampas keadilan yang menjadi hak orang lain, hak banyak orang. Dalam soal Persatuan Indonesia, kita hanya mau bersatu kalau ada uangnya. Kalau tak ada uang lebih sering kita memilih bercerai. Demi uang atau dengan uang kita tega menceraikan sanak, famili, kerabat ataupun suku. Demi dan atau dengan uang kita memilah-milahkan sebuah bangsa menjadi golongan-golongan kecil tak beridentitas dan berpondasi nilai yang luhur. Dengan alasan menghormati perbedaan kita ciptakan jarak diantara kebhinekaan, bukannya MENERIMA perbedaan dan keberagaman dalam suatu kesatuan. Selayaknya kita menyadari tidak cukup hanya sampai pada menghargai atau menghormati perbedaan, namun harus ditingkatkan menjadi MENERIMA perbedaan. Dalam urusan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan, yang sering terlihat adalah demi uang atau dengan uang kita mencampakkan kearifan dalam berembuk. Kita tidak bermusyawarah melainkan bernegosiasi. Kita memilih untuk tidak bermusyawarah melainkan voting demi uang (=kekuasaan) atau dengan uang demi kekuasaan. Bukan demi Rakyat! Meskipun dalihnya demi rakyat. Rakyat yang mana? Adakah engkau menanyakan terlebih dahulu kepada semua konstituen anda? Â Bukankah itu hasil olah pikir dari para wakil rakyat itu sendiri dengan kilah rakyat telah memilihnya menjadi wakil mereka dus memberi mandat kepada mereka? Dalam soal Keadilan Sosial, aaaahhh sudah teralu banyak selingkuh peradilan dan kebijaksanaan yang menyakitkan rakyat kecil. Kebijaksanaan yang dibuat demi keuntungan golongan tertentu dan meminggirkan golongan kecil mengais di sisa-sisa pesta pora mereka. Kaum marginal sebenarnya tidak ada dan tidak seharusnya ada, yang ada yaitu mereka di-marginal-kan karena kesempatan yang adil buat mereka direnggut, demi uang atau dengan uang. Jangankan Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia, lha..wong untuk rakyat sekabupaten atau kota saja sudah ratusan Perda sontoloyo yang tidak adil, yang memberangus hak sebagian anak bangsa untuk memilki kesempatan yang sama tanpa memandang SARA. Kaum yang dianggap tak berdaya seperti anak-anak, para wanita ataupun minoritas agama sering dinegasikan hak yang paling asasinya demi uang atau dengan uang demi kekuasaan. Sungguh tragis dan memilukan, membayangkan Lambang Negara Burung Garuda nan anggun dan gagah perkasa dengan perisai beruntaikan nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, Pancasila, berubah (seperti ilustrasi diatas) menjadi burung menyeramkan dengan wajah serakah Dasamuka dihiasi perisai bernilai tunggal Keuangan Yang Maha Kuasa sambil mencengkeram pongah pita bertuliskan (demi) UANG & KEKUASAAN. Bila itu terjadi, mungkin hanya saudara-saudara kita dari Batak yang masih bisa menghibur diri karena bagaimanapun juga mereka masih memiliki tiga sila: Silalahi, Silaban, dan Silaen. weleh... Sebagai anak bangsa, saya tidak rela itu terjadi dan saya yakin anda pun demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H