Apakah sudah pernah mendengar kata strukturalisme? Sering? Namun, belum tentu teori strukturalisme dari Levi Strauss. Mari kenali lebih jauh..
Guru Besar Antropologi pertama di College De France, Paris ini memiliki nama lengkap Claude Levi Strauss. Pada awalnya, teori ini dilihat memiliki kelemahan dari segi penelitian karena dinilai Strauss kurang berpengalaman di lapangan. Teori ini sangat terpengaruh oleh linguistik karena pada dasarnya bahasa adalah refleksi dan bagian kondisi dari kebudayaan. Oleh karena itu, memandang bahasa dan kebudayaan sebagai aktivitas ( dalam fenomena berbahasa ), acap kali disebut sebagai 'tamu tak diundang' dengan maksud sama dengan nalar manusia. Karena, dalam berbahasa ada dua yaitu : kesadaran dan ketidaksadaran.
Seperti orang yang sedang berbicara, belum tentu memperhatikan struktur bahasa seperti ( subjek, predikat, objek, keterangan ). Sedangkan, Ketika bahasa dipindahkan menjadi teks akan berubah menjadi sesuatu  kesadaran. Ketika sedang menulis, kita lebih memperhatikan tata struktur bahasa agar dapat dibaca dan mudah dimengerti oleh pembaca. Dalam kebudayaan, yang dicari adalah hubungan antara bahasa dan kebudayaan pada tingkat struktur. Artinya, antropolog menggunakan metode linguistik dalam menganalisa gejala -- gejala sosial budaya. Ada dua model menurut Strauss yaitu :
- Homeomorph : boneka model bayi
- Paramorph : seperti molekul DNA
Contoh fenomena sosial budaya misalnya makanan, ritual, mitos bisa dicerminkan sebagai gejala kebahasaan.
Analisa strukturalisme Levi Strauss dimulai dengan cara peneliti menarasikan fenomena sosial budaya, dan lalu menemukan hubungan yang sama yang ada dalam narasi. Setelah menulis dan dihubungkan, narasi tersebut ditransformasi. Di dalam kebudayaan adalah suatu struktur, ada keteraturan dan ketertataan serta keterulangan dan seringkali tidak disadari oleh pelaku budaya. Dalam analisis struktural, menempatkan budaya baiknya berurutan atau hierarkis. Misalnya dalam membuat suatu seni atau struktur visual tidak bisa tiba-tiba dibuat, namun harus melewati tahap-tahap beruntun. Mulai dari ide, persiapan, hingga proses finalisasi produksi. Dan juga terdapat asumsi dalam kebudayaan yaitu transformasi. Yaitu setiap fenomena budaya tidak ada hal yang lain, yang ada hanya perbedaan struktur tetapi esensinya sama.
Strukturalisme yang dibangun oleh Levi Strauss ini masih sering dilakukan sebagai dasar penelitian di era sekarang. Kompleksitas manusia sudah terlihat meskipun di dalam satu budaya misalnya budaya Jawa, selalu ada pergolakan atau perubahan yang terjadi. Fakta-fakta ini sangat luas dan harus diseleksi menjadi data dan harus direlasikan cara pandangnya. Bagi budaya Jawa sendiri, struktur itu saling melengkapi. Karena di dalam Jawa, perbedaan justru diusahakan untuk diserasikan. Tidak ada yang merasa maskulin tanpa ada rasa feminim. Tidak ada yang merasa feminim tanpa adanya maskulin. Disinilah strukturalisme berfungsi sebagai sudut pandang yang dapat menyelesaikan egoism dengan disatukan atau diserasikan. Sehingga, harapannya, teori yang diciptakan oleh Levi Strauss ini hanya digunakan sebagai referensi sudut pandang saja.
 Di dalam kehidupan bermasyarakat, teori strukturalisme dapat dihubungkan dengan perbedaan cara menyampaikan bahasa antara orang Surabaya dan orang Yogyakarta. Orang dari Surabaya cenderung berbicara dengan bahasa yang lebih kasar daripada orang Yogyakarta yang notabene bertutur bahasa lebih lembut, walaupun sama-sama berbahasa Jawa. Hal ini menyangkut fakta bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak sekali hal-hal yang dapat melatarbelakangi perbedaan tiap individu di wilayah yang berbeda pula. Sedangkan, Levi Strauss tidak meneliti bahwa adanya keragaman latar belakang budaya yang justru menciptakan perbedaan pola kebudayaan. Keragaman ini sebelumnya berusaha untuk diseragamkan oleh Strauss yang dinilai terlalu memaksakan dan cenderung naif. Walaupun orang Surabaya dan Yogyakarta yang sama-sama bersuku Jawa, namun sebenarnya terdapat struktur yang berbeda dan teori strukturalisme ini yang dapat menjadi alat bantu dalam memahami manusia dengan kekomplekannya dalam berbudaya.Â
Kolaborasi dengan:
Bhatari Adinda Marsalita-0506011810052
Mahasiswi Fikom 2018
Universitas Ciputra Surabaya