Sekolah selalu menjadi hari yang mengerikan bagi Ana, seorang gadis pendiam yang lebih suka menyendiri daripada bergaul dengan banyak orang. Sejak kecil, Ana dikenal sebagai anak yang pintar, tapi sifatnya yang pemalu sering membuatnya menjadi sasaran empuk bagi teman-teman yang benci dan iri padanya. Salah satu di antaranya adalah Rifka, gadis populer di kelas yang tampak sempurna di mata banyak orang, cerdas, cantik, dan penuh percaya diri. Namun, di balik senyum manisnya, Rifka sering berbuat semena-mena, terutama kepada Ana.
Hari ini terasa jauh lebih buruk dari biasanya. Dari pagi, segalanya tampak tidak berjalan dengan baik. Ana terlambat bangun karena alarmnya tidak berbunyi, dan ibunya sudah marah-marah karena seragamnya belum disetrika dengan benar. Dibandingkan dengan hari-hariblainnya, pagi ini benar-benar menguji kesabarannya.
Ana tiba di sekolah dengan langkah cepat, berharap masih ada waktu sebelum bel berbunyi. Namun, harapannya pupus saat melihat pintu gerbang hampir tertutup. Nafasnya terengah-engah saat berhasil menyelinap masuk, tapi di sanalah kesialan pertamanya dimulai.
Rifka dan teman-temannya yang melihat Ana tiba di sekolah langsung mengambil spidol permanen dari tasnya dan menyambar seragam putih yang dikenakannya, hal itu membuat seragamnya terkena noda spidol merah yang besar di punggung. Untung saja Ana membawa baju ganti untuk berjaga-jaga dari Rifka, Anapun dengan cepat mengganti seragamnya sebelum upacara dimulai. Dibandingkan dengan noda-noda kecil yang biasa ia dapati dari keusilan Rifka, kali ini jauh lebih besar.
Ketika ia berbaris untuk upacara, bisikan-bisikan teman-temannya mulai terdengar. "Ana, ada yang aneh di seragammu," kata seorang teman di belakangnya, sambil menunjuk punggungnya. Ana menoleh, dan di sana, di punggung seragamnya, tertulis kata "PECUNDANG" dengan huruf besar dan mencolok. Rifka dan gengnya yang berbaris tidak jauh darinya mulai tertawa terbahak-bahak. Ternyata tanpa Ana sadari Rifka telah menempelkan kertas bertuliskan kata "PECUNDANG" itu ke punggung Ana. Banyak yang nenertawakan Ana, ada juga yang mendukung Ana dengan menegur orang-orang yang menertawakannya.
Jika biasanya Ana bisa menahan diri dan pura-pura tidak peduli, kali ini ia merasa benar-benar dipermalukan. Setelah upacara selesai, ia lari ke kamar mandi dengan mata hampir berkaca-kaca, sementara Rifka dan gengnya itu terus tertawa di belakangnya.
Di kamar mandi, Ana mencoba membuka kertas itu, namun ternyata Rifka memberi lem sejenis lem korea yang jelas tidak bisa langsung dilepas begitu saja dan bajunya pun menjadi rusak. "Huh, Kenapa selalu aku?" gumamnya sambil menahan air mata. Dibandingkan dengan gangguan kecil yang biasa ia terima, ini adalah puncak dari kesialannya.
Saat kembali ke kelas, masalah berikutnya sudah menunggunya. Meja belajarnya dipenuhi dengan kertas-kertas sobekan buku catatan dan sampah. Teman-temannya yang lain hanya bisa menatap dengan prihatin, namun tidak ada yang berani berbicara. Ana menghela napas panjang, berusaha untuk tidak menangis, namun kepalanya terasa berat. masalah ini terasa terlalu besar untuk diabaikan.
Nina, sahabatnya, mendekat dengan wajah khawatir. "Ana, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kita harus lapor ke Bu Maya. Ini udah keterlaluan."
Ana menolak dengan halus. "Aku nggak mau masalah ini jadi besar. Dibandingkan dengan apa yang mungkin terjadi kalau aku melapor, lebih baik aku diam."
Namun, masalah semakin parah saat jam pelajaran matematika dimulai. Rifka yang duduk di belakang Ana kembali membuat ulah. Kali ini, ia melemparkan kertas kecil ke kepala Ana dengan tulisan, "Nanti di lapangan. Jangan lupa ya, pecundang!" Ana tahu ini bukan hanya olok-olok biasa. Rifka akan menantangnya di depan semua orang, membuatnya dipermalukan lebih besar lagi.