Culture Shock
Apa itu culture shock ? dalam Bahasa Indonesia, fenomena ini disebut sebagai gegar budaya. Fenomena yang sering ditemui para perantau yang tinggal di tempat dengan budaya baru. Semakin berbeda budayanya, maka akan semakin parah efek yang akan ditimbulkan gegar budaya ini. Point-point yang berkaitan dengan gegar budaya biasanya mencakup nilai-nilai yang dianut daerah tersebut, makanan, pakaian, bahasa bahkan iklim dan cuaca. Dan menurut saya, harga barang juga bisa termasuk kedalam gegar budaya.
Efek yang ditimbulkan oleh gegar budaya bisa bermacam-macam, salah satunya yaitu tekanan psikologis dan itu bisa memicu penyakit stress. Dan setiap orang itu pasti pernah mengalami gegar budaya walaupun hanya sekali dalam seumur hidup mereka. Misalnya ketika mereka kuliah atupun sekolah di luar daerahnya dan jauh dari sanak famili, ketika mendapat tugas di tempat terpencil, dan sebagainya.
Gegar budaya pun saya alami sendiri ketika menetap di kota Yogyakarta untuk melanjutkan studi di Uneversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Pertama kali saya datang, saya merasa kaget, gelisah, takut, cemas, dan serba salah. Terutama dalam masalah bahasa. Yogyakarta, yang notabene berbahasa jawa, sangat lemah lembut dalam intonasi suranya. Sangat berbeda sekali dengan saya yang berasal dari daerah Subang Jawa-Barat yang berbahasa sunda. Sebenarnya sunda juga memiliki bahasa yang sangat halus, akan tetapi daerah tempat saya tinggal bahasa sundanya cenderung kasar. Jadi ketika saya berbincang-bincang dengan mereka, saya hanya bisa diam dan tersenyum saja. Apalagi ketika pertama kali saya masuk kuliah dan bertemu dengan teman-teman kelas yang mayoritas bisa berbahasa jawa, rasanya seperti orang terpencil karena tidak mengerti apa yang mereka katakan.
Gegar budaya tidak saya alami dalam hal bahasa saja, makanan sehari-hari pun banyak yang tidak cocok di lidah sunda saya. Untungnya saya pecinta makanan manis, jadi gegar budaya menyangkut makanan bisa sedikit teratasi. Saya juga banyak terbantu dengan warung makan-warung makan sunda yang ada di sekitar kampus. Di warug tersebut saya bisa makan makanan yang sesuai dengan lidah saya, dan nilai plusnya yaitu saya bisa berbicara dengan menggunakan bahasa sunda di warung tersebut.
Ketika mencari tempat tinggal atau kos saya sedikit kesulitan karena memang saya sama sekali tidak mempunyai sanak famili yang tinggal di Yogyakarta. Dan juga saya termasuk telat untuk mencari tempat kos karena saya mencarinya ketika sudah dekat dengan masa ospek, padahal teman-teman saya mencari kos dari semenjak masa registrasi ulang di kampus. Walhasil saya pun menginap di salah seorang teman saya yang berasal dari Palembang, Nopa Purwanti. Setelah lama mencari tempat kos, saya pun akhirnya mendapatkan kos yang lumayan dekat dengan lokasi kampus, dan dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Akan tetapi ibu kos saya itu beragama kristen, dan saya mengetahuinya setelah beberapa minggu tinggal disitu. Gegar budaya pun kembali saya alami, akan tetapi ini lebih spesifik berkaitan dengan keyakinan, saya islam dan ibu kos saya kristen. Namun seiring berjalannya waktu, saya bisa menyesuaikannya hingga saat ini.
Contoh lainnya gegar budaya yang saya alami yaitu ketika saya baru tahu kata-kata “bajigur” itu artinya kasar, beda sekali dengan “bajigur” yang saya tahu artinya adalah minuman khas sunda yang biasanya enak diminum di musim hujan. Kemudian saya juga kaget ketika teman saya bilang kalau “gedang” itu di jogja berarti pisang, padahal di daerah saya artinya adalah pepaya. Benar-benar beda dan lucu.
Di Yogyakarta, ketika kita berpapasan dengan orang yang lebih tua ataupun sesama, biasanya saling sapa dan bertukar senyum. Beda sekali dengan yang terjadi di daerah saya, yang orang-orangnya cenderung cuek dan masa bodoh. Kemudian apabila kita lewat di depan orang yang sedang duduk-duduk, pasti kita mengucapkan permisi sambil menunduk, tapi di daerah saya kejadian seperti itu sudah hampir hilang. Memang waktu dulu juga begitu, akan tetapi sekarang sudah berbeda dan banyak orang yang merasa tidak bersalah ketika lewat di depan orang tanpa mengucapkan kata permisi.
Daalam biaya makan sehari-hari pun saya mengalami kekagetan ketika mengetahui harga makanan di jogja jauh lebih murah dari harga-harga yang ada di daerah saya. Misalnya saja ketika makan dengan ayam goreng + nasi hanya 7000 rupiah, sedangkan di daerah saya bisa sampai 10.000 rupiah. Di jogja, 1000 rupiah kita masih bisa mendapatkan nasi kucing yang sudah lengkap dengan lauk pauknya. Pokonya dengan kita tinggal di jogja, kita akan sangat diuntungkan sekali dalam hal makanan. Selain harganya murah-murah, rasanya pun enak-enak.
Cuaca di yogyakarta cenderung panas, tapi lebih adem dibandingkan di rumah saya yang cuacanya itu sangat panas menyengat. Saya sangat senang, karena biasanya berpanas-panas ria, tetapi semenjak tinggal di jogja cuacanya lebih enak.
Saya juga pernah mengalami gegar budaya ketika saya pertama kali melanjutkan sekolah ke kota kabupaten setelah lulus dari Sekolah Dasar. Jauh dari sanak famili, akan tetapi di Sekolah Menengah Pertama saya, saya bisa menemukan banyak teman baru yang datang dari berbagai daerah. Karena kebetulan saya bersekolah di Pondok Pesantren Darussalam Subang. Dimana saya untuk pertama kalinya menggunakan kerudung, dan saya sangat mengalami kesulitan dalam hal itu. Merasa gerah, rambut rontok, ketombean dan sebagainya. Tapi lama-kelamaan, Alhamdulillah bisa mnyesuaikan diri.
Di pondok pesantren Darussalam, bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa arab dan inggris sebagai bahasa formal. Bahasa indonesia tidak boleh digunakan dalam percakapan sehari-hari dan begitupun bahasa daerah. Haram hukumnya bagi para santri jika berkomunikasi tanpa menggunakan kedua bahasa tersebut. Pada waktu itu saya benar-benar mengalami stres karena tidak bisa menyesuaikan untuk berbicara menggunakan bahasa arab ataupun bahasa inggris. Karena pada waktu itu saya sama sekali tidak mempunyai kemampuan dalam bidang bahasa. Akan tetapi, dalam 6 bulan pertama saya mondok disitu, akhirnya sedikit demi sedikit saya bisa juga untuk berbicara menggunakan bahasa arab dan inggris. Yah, walaupun masih banyak salahnya, tapi tetap saja percaya diri.
Saya sangat mengalami shock culture ketika berada jauh dari orang tua, apalagi saya berpisah untuk melanjutkan pesantren ketika lulus SD. Otomatis banyak sekali hal-hal yang harus saya sesuaikan daalam menjalani kehidupan sehari. Saya termasuk anak yang manja karena memang di rumah saya merupakan anak satu-satunya dan juga cucu satu-satunya nenek dari ibu saya. Saya benar-benar mengalami kesulitan karena harus nyuci, nyetrika, dan makan sendiri. Padahal biasanya sudah serba ada kalau kita tinggal di rumah. Saya tinggal di pondok pesantren selama 6 tahun dan kemudian saya melanjutkan kuliah di Yogyakarta dan lagi-lagi mengalami shock culture .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H