Mohon tunggu...
Hils@Rendezvous
Hils@Rendezvous Mohon Tunggu... Buruh - Duty Station @Central Sulawesi

Your dream, your feet, your journey...walk!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Travel Sastra) Mencari Bentuk Ruang Kegelisahan, Dialog Sastrawan Palu-Jogja

18 November 2011   13:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:30 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAJAK PASAK BUMI hujan turun di padang perdu angin santer di padang perdu hujan berakhir dengan reda atau gerimis lagi, dan berawal dari tiada atau gerimis juga; angin bangkit sesuka hati atau tidur lagi, tergantung pada cuaca tak ada yang mengerti kecuali sajakku tegak berjaga menjadi pasak bumi bagi ketakutan lemah hayatmu! /Pleihari, 2007 (Raudal Tanjung Banua)

Dua minggu lalu komunitas membaca kami kedatangan tamu penyair dari seberang. Raudal Tanjung Banua, ia datang berkunjung untuk berdiskusi menyoal isu-isu sastra lokal dan berbincang tentang travel sastra-nyabeberapa minggu ini di tanah Sulawesi.

Perjalanannya ini adalah dalam rangka festival teater dan sastra (bekerjasama dengan Lembaga Bahasa untuk bulan bahasa yang sadah lewat) sastrawan asal Yogyakarta, Raudal Tanjung Banua dan Andika mengadakan travel sastra ke daerah-daerah.

Kehadirannya adalah untuk mencari bentuk ruang kegelisahan dan kerinduan yang ada di tempat yang dikunjungi, menurutnya setiap tempat akan bermakna apabila ada Kantong Budaya-nya, jika ada tempat yang tadak ada kantong budaya akan tampak abnormal kalau sebuah kota hanya dibangun dari gedung-gedung modern dan birokrasi. “Harus ada penyeimbang dari kawan-kawan di suatu tempat untuk kantong-kantong budaya, komunitas sekecil apapun yang mempertemukan kegelisahan tersebut untuk mengimbangi kota-kota yang cenderung rakus dan merebaknya kebijakan yamg tidak bijak,” papar Raudal di Café Nemu Buku milik Neni Muhidin seorang aktivis budaya di Kota Palu, pekan lalu.

Dalam pertemuan dan dialog dengan sastrawan Yogyakarta itu hadir pula beberapa sastrawan Kota Palu, Ts. Atjat, Mas’amah M. Syam, Satries, Ashar Yotomaruangi dan sejumlah pemerhati dan peminat sastra yang tergabung dalam Komunitas Nombaca. Berbagai masalah dan saling tukar informasi terjadi dalam pertemuan tersebut, sebagai bentuk apresiasi terhadap perkembangan sastra Indonesia yang makin terbuka.

Menurut cerpenis dan penyair Raudal Tanjung Banua yang pertama kali hadir di Kota Palu dalam rangkaian travel-nya dari Talaud, Sulawesi Utara itu, kesenian adalah dunia yang sunyi, bunyi yang dikeluarkan tidak terlalu banyak aplaus dari publik. Namun sedikit demi sedikit jaringan tersebut akan menjadi dasar yang potensial untuk membangun karakter dan budaya di berbagai kota.

Menurut Raudal, ketika berkunjung ke suatu kota, ia menemukan jejaring, jalur-jalur sastra yang progresif menjalankan misi keseniannya, yang menjadi alternatif komunitas yang keras kepala bertahan. Tanpa harus menunggu lembaga negara yang seharusnya mengayomi dan melirik mereka, mereka tidak ambil pusing dengan kondisi yang ada dan tetap berjalan terus.

Raudal juga menceritakan tentang komunitas di kota lain yang pernah didatanginya. Ia mencontohkan, di Kendari ada Komunitas Arus yang diasuh oleh dosen sastra, dan sangat tidak formal, kios buahnya yang dijadikan perpustakaan untuk Oase Sastra. “Mereka bergabung bukan hanya sastrawan dan budaya, juga kalangan dari politikus lokal, agendanya diskusi rutin dan pertemuan informal yang dilakukan.”

Selain Kendari, Raudal telah berkunjung ke Talaud, Manado (berdiskusi dengan teater-teater religi dan Teater Kronis-Universitas Sam Ratulangi), di Bau-Bau Buton ada Komunitas Fantastik yang mengambil alih pantai Kamali untuk menjadi ruang public untuk performance Sastra.

Raudal sendiri dikenal sebagai sastrawan yang produktif menulis cerpen dan puisi, serta esai di berbagai media nasional dan mengasuh komunitas Rumah Lebah-nya di kota Yogjakarta.

Dialog yang berlangsung sederhana itu sekaligus sastrawan Palu banyak memberi masukan dan mengangkat perkembangan sastra di Kota Palu dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk mengenai geliat berbagai kegiatan kesenian yang bertalian dengan sastra sebagai bagian perkembangan kesenian umumnya di Kota Palu. Di satu sisi, Ts. Atjat dan Ashar Yotomaruangi, juga tidak menutupi soal adanya keterbatasan-keterbatasan dalam berbagai aktivitas kesenian, namun menurutnya itulah sebuah dinamika perkembangan kesenian di Kota Palu.

Setelah Palu, Raudal akan melanjutkan travel-sastra nya ke daerah Morowali, Polewali, Makassar, dan daerah lainnya.

(hilda/jamrin Nov 2011)

[caption id="attachment_149917" align="aligncenter" width="467" caption="pertemuan di markas nombaca"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun