Joe ditahan, ada borgol mengikat kedua tangannya. Dia jadi tersangka pembunuhan Mary. Sedang aku, menjadi saksi. Aku tahu, Joe mungkin tak bersalah. Mungkin dia hanya sebagai jalan bagi kematian Mary. Ah, entahlah bagaimana aku harus menjelaskannya.
Aku, Joe dan Mary telah lama bersahabat. Kami biasa jalan bertiga, ke mall atau diskotik. Kadang nonton ke bioskop. Selama ini kami hanya bersahabat, saling traktir bergantian, tak ada hubungan special semacam cinta-cintaan. Joe bukan tipe cowok yang diinginkan Mary, apalagi aku.
Joe bertubuh kurus kerempeng, wajahnya lumayan, bisa dikategorikan cakep. Tapi sayang, Joe bukan cowok pintar, sangat cenderung pada bodoh bahkan. Mungkin disebabkan kecanduannya pada morphine. Joe pelupa, suka tulalit, yang tulalitnya itu justru membuat ia jadi kocak. Kami berdua tahu, Joe cinta berat sama Mary.
Mary adalah temanku sejak masih di Junior High School. Wajahnya jauh lebih cantik dariku. Orang tuanya cukup kaya, dialah yang sering mentraktir kami. Dia cewek periang, nyaris tak pernah kulihat ia sedih. Kami tinggal satu kamar kost.
Hari itu Joe datang ke kost kami. Dia punya ‘barang’ dan ingin mentraktir kami. Mary dengan senang hati menerima. Maka pergilah kami bertiga, menuju hotel yang telah dipesan oleh Joe.
Di dalam kamar Hotel malam itu, aku dalam keadaan mabok berat, terbaring di ranjang. Joe duduk di tepi ranjang. Dia dan Mary hendak turun ke diskotik melanjutkan pesta, malam itu. Mary menelan ineks sebelumnya.
Tak lama setelah itu, entah datang dari mana tiba-tiba sebuah makhluk yang maha mengerikan berdiri di depan Mary. Mary histeris, aku pun ketakutan melihatnya. Aku juga ingin teriak, tapi aku tak sanggup, aku hanya menunjuk makhluk itu. Makhluk itu mendekati Mary, teriakan Mary makin kencang. Aku tak menyalahkannya sebab aku juga sangat ketakutan melihatnya.
Mungkin Mary meminta tolong pada Joe. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya teriakan yang makin lama makin keras dengan matanya yang melotot ketakutan. Joe mengira Mary sakaw. Joe benar-benar panik.
Joe membuka lemari es, semula ia mengambil air mineral dan memaksa Mary meminumnya. Tapi Mary tetap teriak, lalu ia mengambil susu dan lagi-lagi memaksa Mary meminumnya hingga tertumpah-tumpah.
Joe melihat ke arahku yang tentu tak ada harapan bisa membantunya untuk menenangkan Mary. Joe menyuruh Mary diam sebab ia tak ingin teriakan itu mengundang petugas hotel masuk ke kamar kami.
Ia mencoba membungkam mulut Mary, aku melihat makhluk itu makin dekat ke wajah Mary yang semakin histeris. Joe membanting tubuh Mary dan jatuh dekat kakiku, lalu menyambar bantal disampingku, untuk meredam suara Mary. Lamat-lamat aku melihat makhluk itu menghilang seiring surutnya teriakan Mary. Tak lama kemudian aku melihat petugas keamanan mendobrak pintu kamar kami. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.