Entah berapa juta kali disampaikan tujuan bulan Ramadan adalah untuk menciptakan manusia dengan karakteristik taqwa. Hari ini, ditandai dengan terbenamnya matahari di ufuk barat pada tanggal 4 Juni 2019, sang Raja Bulan telah berakhir, sekaligus juga pertanda dimulainya bulan baru, Syawal.Â
Berbagai ekspresi dihadirkan saat matahari terbenam yang sebenarnya kalau disimplifikasi hanya dua: suka cita dan duka cita. Kita mungkin tak perlu peduli dengan keduanya, sebab kita tak pernah tahu mana yang baik diantara keduanya dihadapan Allah.
 Yang perlu dipedulikan barangkali adalah ketika matahari itu terbenam disertai sahut-sahutan antara adzan dan kembang api ialah "Sudahkah kita mencapai tujuan Ramadan yang Tuhan maksudkan?"
.
Tatkala Allah memilih Adam untuk menjadi khalifah di muka bumi, para malaikat bersujud padanya, sekalipun sebelumnya dikisahkan melalui pertentangan terlebih dahulu pada Allah. Walau begitu, satu makhluk yang konon merupakan salah satu dari bangsa Jin menolak untuk bersujud, dan memilih untuk menyombongkan kelebihan dirinya atas Adam.Â
Ia mendurhakai perintah Allah untuk bersujud pada Adam, dan kemudian menjadi setan. Pasca pembangkangan itu terlaksana, Allah menghukum setan untuk tinggal di neraka secara kekal. Setan lantas melakukan afirmasi positif atas hukuman itu dengan syarat: menjadikan mereka kekal untuk menggoda manusia di dunia. Lalu Allah mengamini syarat yang diajukan setan.
Misi besar setan sesungguhnya adalah untuk menjadikan manusia agar senantiasa memalingkan manusia kala mereka hendak "Mengingat Tuhan" sehingga manusia dapat "Melupakan Tuhan". Ketika hal itu terjadi, manusia akan kehilangan jangkar transedentalnya sehingga kondisinya menjadi tidak stabil, yang beralih dari satu ekstrem ke ekstrem lain:Â
Sombong dan putus asa. Setan memiliki keduanya sebab ia sombong karena merasa diri lebih baik dar Adam. Ketika jatuh, dia kehilangan semua harapan dan dengan putus asa memohon kepada Allah agar diberi kesempatan hidup sampai Hari Akhir. Manusia terus diguyur dua sifat ini oleh setan, dan sangat mudah terjadi apalagi manusia diberikan sikap tergesa-gesa sehingga manusia mudah sombong dan mudah putus asa.
Mengambil jalan tengah agar tidak terjerumus pada salah satu ekstrem setan itu, oleh Fazlur Rahman disebut sebagai orang yang berpredikat taqwa. Jalan tengah bukan saja jalan terbaik, tetapi merupakan satu-satunya jalan, katanya. Jalan tengah tidak berarti monoton, dangkal, atau ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak mengandung keduanya.Â
Yang ada dalam perspektif Al Quran adalah pertengahan yang positf dan kreatif, yakni memiliki kewaspadaan dan kekuatan maksimum yang bisa dikerahkan. Dalam pengertian lain, manusia yang mengambil jalan tengah ini kemudian akan mendapat sebuah kestabilan. Berlaku penuh cinta kasih dan menjaga moral baik pada yang vertikal maupun yang horizontal (2:2-5; 3:133-135).
Taqwa yang sering dimaknai takut kepada Allah. Akar istilah tersebut, sejatinya bermakna berlindung atau melindungi dari sesuatu (52:27; 40:9; 40:45; 76:11). Tetapi takut pada apanya? Tentu saja bukan takut dengan memahami bahwa Allah adalah seorang diktator yang sewenang-wenang atau tiran.Â
Melainkan takut pada berbagai konsekuensi dari segala perbuatan baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Dengan kata lain inilah ketakutan yang tumbuh dari rasa tanggungjawab secara penuh, di dunia dan di akhirat, dan bukan takut terhadap tirani yang kejam. Sebab, dalam gambaran Al Quran Allah memiliki rahmat yang tak terbatas, meskipun Dia juga memiliki azab yang pedih.
.