Mohon tunggu...
Hilal Fathurrahman
Hilal Fathurrahman Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Pribadi

Manusia biasa yang ingin terbang bebas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuntutan Ahok Usai, Mengapa Masih Reuni?

11 Desember 2018   23:30 Diperbarui: 12 Desember 2018   15:25 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 2 Desember 2018 yang lalu, banyak Muslim dari berbagai daerah datang berduyun-duyun ke Ibukota negara untuk melaksanakan reuni. Reuni yang dimaksudkan memperingati Aksi Damai tanggal 2 Desember 2016. Sekalipun tidak ada angka yang pasti, tetapi penulis berpendapat bahwa lautan massa yang hadir tidak lebih banyak pada saat pertama kali berkumpul. 

Walau begitu, reuni itu tetap dihadiri banyak orang dan berjalan dengan damai, dalam pengertian, sama sekali tidak terjadi kerusuhan.Di alam demokrasi, aksi massa sesungguhnya merupakan hal yang sangat lazim. Justru menjadi sebuah keanehan kala di alam demokrasi terjadi aksi massa di ruang publik dimana negara tidak menjamin atas aksi massa tersebut. 

Kita sepakat bahwa reuni 212 tersebut merupakan aksi massa yang konstitusional. Selain karena negara ini menjadikan demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara, aksi massa itu juga terlaksana dengan melalui berbagai perizinan dari pihak berwajib. Sebab peserta Reuni 212 tidak menggerudug Monas, pasti melalui izin terlebih dahulu.

Membaca Gerakan 212 melalui Pendekatan Historis-Ekonomi

Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa sesungguhnya bisa membangun sebuah kekuataan politik yang digerakan oleh kelas menengah saudagar. Kerajaan Demak saat itu memiliki penguasaan penuh atas Pantai Utara Jawa yang memungkinkan adanya akses untuk melakukan perdagangan internasional. Petakanya tatkala Malaka dicaplok oleh Portugis pada 1511, dan kemudian pendudukan Belanda di Banten 1596 sebelum akhirnya menguasai Batavia pada 1602, benar-benar berakibat fatal bagi kelas menengah pedagang muslim di Asia Tenggara, dan Jawa khususnya.

Dengan melihat Demak, poin pentingnya Ialah kelas menengah pedagang memiliki posisi yang sangat strategis untuk membangun sebuah kekuatan politik-ekonomi kerajaan. Bangsa ini menjadi bangsa yang underdog dibawah kolonial Belanda juga karena tidak memiliki kekuatan politik-ekonomi. Pada masa kolonial inilah kita menyaksikan sebuah ketidakadilan bagi kaum pribumi, apalagi si pribumi ini diletakan pada strata sosial paling bawah yang tidak boleh memasuki sekolah Belanda dan pemutusan rantai ekonominya.

Nah, pada masa pra-kemerdekaan, kita mengenal Syarikat Islam sebagai gerakan yang berfokus pada kegiatan ekonomi yang diprakarsai oleh H.Samanhudi di Batavia. Sekalipun berdiri di Batavia, SI berkembang di Jawa bahkan ke luar Jawa saat kepemimpinan dikepalai oleh HOS Cokroaminoto. 

Apa yang menjadi gerakan SI juga ditujukan untuk membangun basis ekonomi dimana anggota utamanya merupakan pada pedagang. Perkumpulan ini mendapat sambutan luar biasa dari para pedagang. Narasi yang dikembangkan adalah ketidakadilan yang lakukan Belanda pada kaum pribumi.

Setelah memasuki era kemerdekaan. Pada zaman Orde Baru, Kuntowijoyo (1991) menyebut bahwa terjadi fenomena perifelisasasi dan oposisi Islam dalam konteks Islam dan Politik. Pertama kali dalam sejarah, pemerintah Indonesia mengesahkan UU PMA (Penanaman Modal Asing) tahun 1969, yang dengan, UU itu memungkinkan adanya modal masuk dari pihak asing dengan konsep kontrak karya, Eksploitasi Papua oleh Freeport adalah implementasi oleh sebab adanya UU ini.

Tetapi, dengan mengutip Richard Robison, pada zaman ini terjadi stratifikasi sosial baru berdasarkan kelas, "di mana kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh karena kebijakan pembangunan". Pemerintah dengan dukungan modal dalam negri dan modal asing, aliansi elit birokrasi militer dengan bid capital bukan tidak mungkin mengalami polarisasi kepentingan. Hal ini bisa dipahami sebab big capital membutuhkan politik asuransi dari big government untuk melindungi diri dari big labour.

Implikasinya terjadi pada umat yang selama ini bertahan di sektor ekonomi pasar menjadi terlampau lemah dan terisolasi karena kebanyakan peluang ekonomi jatuh kepada kelas atas birokratik di Ibukota. Apa yang terjadi kemudian adalah Orde Baru telah menyebabkan tulang punggung gerakan Islam mengalami kemerosotan, sehingga pergerakan Islam berada pada posisi yang sulit secara ekonomi. Terjadinya gerakan massa Tanjung Priok atau GPK Lampung, yang motifnya sama dengan dahulu, yakni ekonomi dan ketidakadilan.

Reuni 212

Semangat utama aksi massa 212 pada tahun 2016 adalah kala itu Ahok yang dituduh menista agama. Tuntutan untuk mengadili Ahok sesungguhnya telah dipenuhi. Pertanyaannya untuk apa dilakukan reuni lagi apabila tuntutan utamanya telah terpenuhi? Menurut saya, narasi reuni ini mengalami pelebaran, yakni mengarah pada ekonomi dan ketidakadilan negara pada mereka. 

Gaung ketidakadilan dan kekecewaan terhadap rezim yang berkuasa berbunyi nyaring dari kelompok ini, dan tentu saja dari partai oposisi. Kehadiran capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, menurut saya adalah antitesis dan alternatif dari kelompok ini untuk menghadirkan keadilan. Toh pada saat ini kita memang menghadapi gempuran kapitalisme dan beberapa catatan pemerintah terkait kebijakan ekonomi. 

Terlebih sistem ekonomi  sudah masuk pada apa yang disebut dengan financial liberization yang memungkinkan upaya melelahkan untuk bisa menciptakan stabilitas ekonomi. Bila hipotesis saya benar, maka ini mirip-mirip dengan apa yang terjadi di masa lalu, SI sebagai contoh. Dan itu sama sekali baik.

Hanya saja, sebagaimana Kuntowijoyo, "gagasan-gagasan religio-ekonominya mesti mempunyai dasar Islam yang dapat disajikan dalam rumusan objektif sehingga bahkan dapat diterima oleh kalangan non-Muslim". Saya melihat peserta 212 ini seringkali membawa aspek-aspek primordial yang tidak elok, ungkapan anti terhadap etnis tertentu dan latah mengucapkan kata kafir bahkan pada muslim sendiri. 

Fanatisme semacam ini justru merusak persatuan umat Islam karena bertindak dengan kesadaran class for itself. Hal ini bertentangan dengan cita-cita normatif umat per definisi merupakan suatu non class group. Kita mengharapkan perbedaan-perbedaan pemahaman sesama umat Islam dapat ditransendensikan sebagaimana termaktub dalam surat Al Imran; 103.

Hilal Fathurrahman
Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut
Kabid Bidang Perkaderan Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Banten

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun