Mohon tunggu...
Hilal Faturrahman
Hilal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa fakultas syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pencatatan Perkawinan di Indonesia: Sejarah, Pentingnya Pencatatan, Serta Makna Filosofis, Sosiologis, Religius, dan Yuridis

20 Februari 2024   22:20 Diperbarui: 20 Februari 2024   22:42 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Melaksanakan perkawinan merupakan fitrah menusia yang tidak dapat dihilangkan  tetapi harus disalurkan kepada jalan yang benar, jalan yang tidak menyimpang dari aturan undang-undang dan agama (Islam) dengan mengikatkan hubungan melalui akad nikah. Untuk melindungi pihak-pihak yang terlibat dalam ikatan perkawinan tersebut, maka diharuskan adanya pencatatan perkawinan guna untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut, maka suami dan istri mempunyai bukti yang kuat atas terjadinya suatu ikatan peekawinan. Begitu pula sang anak akan mendapat perlindungan hukum yang baik akibat dari pencatatan tersebut.

Berikan Analisis Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia ?

Periodesasi sejarah hukum pencatatan perkawinan adalah mengacu pada berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikarenakan, dengan berlakunya undang-undang tersebut sudah terwujud univikasi hukum di bidang perkawinan, yang merupakan cita-cita utama dari adanya kemerdekaan Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masyarakat menggunakan Sistem Hukum Perkawinan Adat yang berlandaskan pada Hukum Adat, Sistem Hukum Perkawinan KUHPerdata yang berlandaskan pada Burgelijk Wetboek.

Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menjelaskan: "Sebelum tahun 1974 penduduk Indonesia adalah tunduk pada berbagai peraturan perkawinan yang diwarisi dari pemerintah kolonial. Dengan cara yang biasanya bersifat pragmatis, Pemerintah kolonial tidak pernah berusaha untuk membawa semua warga negara di bawah satu undang-undang, melainkan hanya ikut campur dalam perihal keluarga jika dibutuhkan oleh tekanan eksternal, semisal dari gereja di Belanda yang ingin peraturan khusus untuk seluruh umat Kristen mereka di Hindia Belanda".

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun merupakan undang-undang perkawinan yang diusulkan pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973, yang kemudian diajukan ke Rapat Paripurna DPRK-RI. Sebagai pengusaha, ia menerbitkan Keputusan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Juga dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Lalu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 bahwa "Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Dengan adanya pasal tersebut, maka wajib bagi warga negara Indonesia untuk mematuhi aturan pencatatan perkawinan.


Mengapa pencatatan perkawinan diperlukan?

Keharusan pencatatan perkawinan ini dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Maka akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama untuk dicatatkan. Pencatatan perkawinan ini dilakukan agar apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, maka pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.

Selain itu pencatatan perkawinan ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak,kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan Akta Nikah suami istri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.

Pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak.


Analisis Makna Filosofis, Sosiologis, Religious, dan Yuridis Pencatatan Perkawinan?

Secara filosofis Perkawinan menurut hukum Islam yang sesuai adalah berdasarkan Pancasila, khususnya sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut para ahli dalam analisis keberlakuan hukum, secara filosofis pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan yang berbentuk kepastian, kekuatan dan perlindungan hukum terhadap pelaku perkawinan tersebut (suami-istri). Dengan begitu, ketika tidak terpenuhinya pencatatan perkawinan, maka akibat hukumnya adalah tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mendapatkan jaminan hak-hak keperdataan akibat perkawinannya itu.

Secara sosiologis perkawinan diakui keberadaannya dilihat dari dua perspektif, yaitu pengakuan dari masyarakat dan dari pemerintah. Pertama, pengakuan dari masyarakat itu penting, dikarenakan pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial dimana tidak luput dari interaksi sesamanya. Kemudian yang kedua yaitu pengakuan dari pemerintah, dimana pengakuan ini demi mendapatkan kepastian hukum ketika suatu hari terjadi persengketaan akibat perkawinan.

Makna religious (agama) dari adanya pencatatan perkawinan ini mungkin tidak sebegitu penting karena dalam agama pernikahan yang sah itu terpenting sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Namun dalam agama Islam juga menghendaki umatnya untuk mematuhi peraturan yang ada demi tegaknya kenyamanan dan jaminan hidup bernegara.

Kemudian secara yuridis, pencatatan perkawinan ini sangat ditekankan sekali. Pencatatan dimaksudkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Dengan demikian, melalui pencatatan perkawinan maka suatu perkawinan akan memiliki kepastian dan kekuatan hukum serta hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik.


Bagaimana menurut pendapat kelompok anda tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan apa dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis, religious, dan yuridis?

menurut pendapat kelompok kami setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku pada negara yang dipijakkan. Sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan kesahan suatu perkawinan, yang memenuhi ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Maka dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas kesahannya, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak yang lainnya. Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Pentingnya pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi pihak yang melakukan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Sebaliknya jika pencatatan perkawinan tidak dilakukan, maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memiliki bukti yang autentik dari negara sebagai suatu perkawinan.

Akibat Perkawinan dalam perkawinan yang tidak tercatat secara sosiologis Jika status perkawinan tidak dicatatkan, istri tidak dapat menggugat suaminya. Anak-anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam hal kematian salah satu pasangan, mempunyai hubungan keperdataan hanya dengan ibunya dan dengan keluarga ibunya menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Sesuai dengan ketentuan seni. 42 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan pasal. 43 dtk (1) UU Perkawinan No.1 Tahun 1974.

Akibat perkawinan tidak dicatatkan secara agama (religious), akibat hukum perkawinan tidak dicatatkan sekalipun sah secara agama, perkawinan tidak mempunyai nilai hukum, dianggap batal karena tidak mencatatkan perkawinan. Karena perkawinan ini pengaruhnya sangat merugikan, baik secara hukum maupun sosial, baik terhadap wanita maupun wanita pada umumnya, maupun terhadap anak yang dilahirkan.

Akibat Perkawinan Bila Tidak Dicatat Secara hukum perkawinan yang dicatatkan di suatu Negara (yuridis) mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Anak adalah salah satu konsekuensi hukum yang paling penting. Selain itu, hak anak atas layanan sosial dan pendidikan juga akan berbeda. Hal lain yang paling menonjol adalah anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah memiliki akta kelahiran yang tidak sah. Selain itu, konsekuensi hukum lebih lanjut dapat timbul dari hukum waris.Tidak hanya hak waris anak saja yang dapat menimbulkan masalah, hak waris pasangan tidak sah secara hukum apabila perkawinannya tidak dicatatkan.


Kesimpulan

Pentingnya pencatatan perkawinan dan dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan Pencatatan pernikahan menjadi hal penting bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak-anaknya. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan wajib untuk dilakukan meski tidak berkaitan dengan syarat sah suatu perkawinan.

Perkawinan sangat penting bagi masyarakat untuk memiliki kepastian hukum tentang perkawinan dan kelahiran anak, meskipun "tidak terikat oleh syarat-syarat perkawinan karena suatu Perkawinan tidak hanya harus mematuhi aturan agama tetapi juga sah menurut hukum, dan buku nikah juga dapat mengkonfirmasi asal usul pernikahan yang sah.

Dampak negatif jika perkawinan tidak dicatatkan:

- jika dilihat dari segi sosiologis yaitu tidak adanya pengakuan dari masyarakat mengenai suatu perkawinan, mental dari pihak yang bersangkutan mungkin juga akan terganggu karena secara tidak langsung mereka akan mendapatkan cemooh dari masyarakat sekitar.

- Kemudian jika dilihat dari segi religious, Al -Qur'an menyebutkan akad nikah adalah sebagai perjanjian yang kuat tidak disamakan dengan perjanjian biasa. QS. An-Nisa ayat 21 Allah SWT menerangkan, bahwa perjanjian (termasuk akad nikah) yang adil dan benar adalah perjanjian yang dilengkapi dengan alatbukti. Alat Bukti yang terutama ialah alat bukti dengan pencatatan.

-Dan yang terakhir dilihat dari segi yuridis, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian hidup atau di tinggal mati, selain itu istri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah menurut hukum, dan hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya saja. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata negara perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama. Kemudian para pihak akan mengalami kesulitan dalam hal administratif, dan tidak memiliki sebuah dokumentasi resmi akta nikah yang bisa dijadikan sebagai alat bukti dihadapan majelis peradilan.


Disusun Oleh kelompok 5:

- Hilal Faturrahman (222121166)

- Ilma nur Rohmah (222121171)

- Ayyu wardah Khoirul cahyani (222121179)

- Agilta Alnafian (222121181)


Refrensi:

Nafi' Mubarok.(2017). Sejarah Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia. Jurnal Justicia Islamica, 14(1), 71-85.

Usman R.(2017). Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia . Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 255-274.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun