Ada satu fenomena yang jamak dijumpai ketika akhir tahun tiba di hampir seluruh daerah di Indonesia. Pembangunan sarana dan prasarana publik, berbagai kegiatan seminar, diklat, pelatihan, sosialisasi, iklan dan sejenisnya, adalah beberapa fenomena yang dimaksud. Di satu sisi fenomena ini dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar, seakan telah menjadi tradisi yang dianggap biasa dilakukan di penghujung tahun. Namun di sisi lain, memberikan dampak negatif tahunan yang tidak sedikit. Banyaknya kegiatan fisik di ruang-ruang publik, seperti renovasi jalan raya, perbaikan gorong-gorong dan drainase, pembangunan jembatan yang tersebar dan menumpuk pada setiap titik dan ruas jalan menyebabkan tradisi banjir dan kemacetan yang terjadi pada setiap akhir tahunnya. Kemacetan ini pada akhirnya yang akan menghambat proses efisiensi perputaran ekonomi, pertumbuhan masyarakat dan kegiatan kependidikan.
Selain itu, pekerjaan yang dilakukan secara terburu-buru dan harus "berkejaran-kejaran dengan waktu (deadline)" tentu akan menghasilkan output yang tidak optimal dan berkualitas. Bahkan jika terlalu dipaksakan akan menimbulkan ketidakefektifan, dan jika terus berlanjut akan menimbulkan ketidakefisienan. Ketidakberkualitasan yang dimaksud adalah karena banyaknya infrastruktur fisik yang dibangun pada akhirnya memiliki kualitas yang rendah, tidak rapi, dan "asal-asalan". Belum lagi berbagai kegiatan pelatihan, seminar dan sejenisnya yang sesungguhnya tidak terlalu urgensi dan dibutuhkan dan pada akhirnya menghasilkan kegiatan yang "asal jadi" dan dianggap tidak efektif.
Ketidakefektifan yang dimaskud adalah tidak tepat sasaran, tepat guna, kebermanfaatannya tidak jelas, dan tidak sesuai dengan tujuan dari kegiatan-kegiatan itu sendiri. Fenomena ini seakan terus berlanjut di penghujung tahun, sehingga menjadi sebuah budaya dan tradisi tahunan yang akhirnya menghasilkan negara yang tidak efisien. Ketidakefisienan yang dimaksud adalah tidak mampu memperkirakan secara matang antara perencanaan dan pelaksanaan, pengeluaran dan pemasukan, sehingga yang terjadi penghambur-hamburan dan pemborosan negara. Pemborosan-pemborsan itu semakin membengkak ketika alokasi anggaran tidak disalurkan kepada kebutuhan yang semestinya. Seakan sudah lazim terjadi begitu banyak "siraman" ketika suatu proyek pengerjaan program pembanguan dan kegiatan itu dieksekusi.
Instansi pemerintahan daerah bekeyakinan bahwa alokasi APBD yang berjalan dan yang telah dianggarkan harus segera "dihabiskan", jika tidak maka instansi pemerintahan yang bersangkutan harus mengembalikan anggaran tersebut dan dianggap "tidak layak" untuk mendapatkan anggaran yang sama atau lebih pada tahun anggaran berikutnya.
Memang tidak ada yang memaksa instansi pemerintah daerah untuk menghabiskan atau menyerap anggaran di atas 90% atau anggaran belanja yang telah dialokasikan tidak selamanya harus habis sesuai pagu yang tersedia. Namun ketika pemerintah daerah yang tidak mampu mememuhi taget kinerjanya, misalnya dari 5 miliyar yang dianggarakan, hanya 3 miliyar yang terealisasikan, maka pemerintah daerah dianggap gagal dalam melakukan perencanaan penganggaran yang matang. Maka kelebihan 2 miliyar itu harus dikembalikan kepada nagara. Makanya pemerintah menghimbau berulang kali agar penyerapan anggaran dilakukan sedini mungkin, agar setiap satuan kerja dapat merivisi anggaran tersebut dan jika ada kelebihan anggaran bisa dialokasikan kepada kegiatan lain yang belum mendapatkan anggaran.
Namun masalahnya, setiap instansi pemerintahan juga "tidak rela" jika dana anggaran itu kembali kepada negara untuk membiayai satuan kerja yang lain yang masih kekurangan anggaran. Maka solusi instannya adalah "pemborosan", pembiayaan yang tidak tepat sasaran dan pembelanjaan secara "jor-joran" di akhir tahun. Serba dilematis memang. Jika berkata jujur, sebenaranya pemerintah pusat mengetahui akan hal ini, namun seakan terjadi "pembiaran-pembiaran".
Dalam padangan dan nalar positif, sebenarnya negara sah-sah saja menarik kembali anggarannya yang tidak terserap sesuai target penganggaran asalkan semua kinerja telah terpenuhi. Artinya negara juga berfikiran positif bahwa untuk apa diberikan dana berlebih jika dengan dana yang cukup juga bisa mengahasilkan kinerja yang baik. Namun yang terjadi adalah negara atau pemerintah pusat justru mendesak agar setiap instansi pemerintahan menyerap anggaran tersebut dengan optimal dengan dalih agar mencapai target fiskal, menciptakan pertanggugjawaban yang rapi dan memberikan kebermanfaatan maksimal bagi masyarakat. Bahkan pemerintah pusat dalam dua bulan terakhir tahun ini berkomitmen menyerap Rp.1.200 triliun anggaran dari pagu belanja sebesar Rp 3.106,4 triliun yang belum terserap sesuai dengan Perpres 98/2022. Artinya pemerintah baru merealisasikan belanja sebesar Rp 1.913,9 triliun atau terserap 61,6% hingga 30 September 2022. Dari sini dapat terlihat bahwa pemerintah pusat sendiri tidak memberikan contoh yang baik dalam mengelola negara yang efisien.
Seringkali kinerja yang baik dinilai dari sebrapa besar penyerapan anggarannya. Hal ini di satu sisi memang tidak salah, sebab penyerapan anggaran yang baik tentu akan menunjang infrastruktur yang baik, pelayanan yang optimal dan pembangunan ekonomi daerah yang meningkat. Namun ketika anggaran itu dipaksakan harus habis, ini masalahnya. Tidak jarang pemerintah daerah atau pusat bekerja tidak terstruktur, teorganisir, rapi dan terencana, yang mengakibatkan setiap satuan kerja "berlomba-lomba" dengan waktu yang singkat untuk menghabiskan anggaran. Maka yang terjadi di lapangan adalah pekerjaan yang "asal jadi", tidak sesuai kebutuhan, bahkan beberapa ada yang fiktif. Maka dari itu, kinerja yang baik seharusnya tidak hanya dinilai seberapa besar terserapnya anggaran tersebut, namun juga melihat asas kebermanfataan dan luaran yang dihasilkan.
Keteledoran instansi pemerintah hingga melaksankan sebagian besar programnya di akhir tahun adalah perbuatan yang "kekanak-kanakan" dan "tidak dewasa". Biasanya instansi pemerintah daerah membuat program sebanyak-banyaknya untuk diajukan, termasuk program yang tidak begitu urgensi atau penting, dengan harapan jika beberapa program dicoret atau tidak disetuji maka masih banyak program lain yang diterima. Makanya seringkali penganggaran yang diajukan tidak sesuai kebutuhan. Sehingga ketika anggaran suatu program kegiatan itu disetujui, maka biasanya tidak langsung diterapkan atau dilaksanakan karena dinilai belum mendesak dan tidak harus buru-buru untuk mengimplementasikannya, yang pada akhirnya proses penyerapan anggaran "menumpuk" di akhir tahun.
Keteledoran ini juga terjadi oleh beberap sebab, di antaranya faktor sumberdaya manusia yang kurang dan kompeten, permasalahan teknis perizinan dan surat menyurat, permasalahan teknis terkait pengadaan barang dan jasa, masalah pembebasan tanah dan penolakan warga, masalah politik dan kepemerintahan, misalnya lambatnya bergantian kepemimpinan atau kepungurusan dan konflik pentingan, atau bisa juga disebabkan permasalahan hukum, misalnya penyelewengan anggaran, terjerat kasus-kasus tertentu dan sebagainya. Perencanaan dan pelaksanaan yang tidak matang inilah yang akhir menimbulkan pemborosan negara.
Kita harus memahami terlebih dahulu untuk apa pembangunan dengan berbagai kegiatannya itu dilakukan. Tentu saja tujuan akhirnya untuk kebaikan masyarakat. Namun ketika pembangunan yang terjadi justru tidak memberikan dampak yang baik untuk masyarakat, maka untuk apa pembangunan itu dilakukan. Pembangunan yang terburu-buru dan dilakukan "ngasal" tidak hanya memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat, namun membuat negara bangkrut, "tumpul" dan tidak maju. Dari sisi fisik memang dapat dikatakan membangun, namun esensinya kegiatan tersebut hanyalah ritual penghabisan anggaran negera dan tidak memberikan efek kepada pembangunan masyarakatnya. Infrastruktur fisik memang terbangun namun rakyat tak kunjung sejahtera. Seharusnya alokasi pembangun ditujukan kepada pembangunan masyarakatnya, misalnya peningkatan pelayan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pemajuan UMKM dan peningkatan kualitas pendidikan. Bukan kepada memperbesar belanja pegawai, belanja operasional, pengadaan barang dan jasa instansi, yang justru tidak berdampak signifikan bagi masyarakat.