ilustrasi shutterstock / Admin
Pagi itu ia berjumpa kupu-kupu di pintu
(12/06/09)
Pagi itu ia berjumpa kupu-kupu di pintu. Kupu-kupu itu mewartakan akan datangnya seorang tamu. Sebelum sempat kupu-kupu itu mengatakan siapa tamu itu, serta menyampaikan salam dari tamu itu, kupu-kupu itu harus pergi. Kupu-kupu itu harus memenuhi takdirnya, mati segera. Kupu-kupu tak punya cukup waktu untuk menceritakan hidup. Kupu-kupu hanya mampu menyatakan hidup jika telah berada dalam kenangan. Setelah kupu-kupu itu pergi, di pintu yang setengah terbuka, ia terkenang pada sebuah hidup saat ia kanak dulu. Matahari pagi, desir angin, rumput yang jadi alas empuk baginya menikmati hari melintas perlahan. Setelah 40 tahun, pagi itu, ada 40 juta kupu-kupu tersimpan rapi dalam kenangannya.
Ia ingin menulis cerita epik...
(12/06/09)
Ia ingin menulis cerita epik, cerita yang mewakili gelora hidup itu sendiri. Tapi, ia tak berbakat menulis cerita besar. Ia hanya mampu menulis cerita-cerita kecil. Misalnya, cerita tentang sebuah tanda tangan serta sebaris tulisan yang telah pudar, tentang sebuah harapan, di sebuah buku tua yang ia temukan di kotak hitam berdebu milik kakeknya. Atau cerita tentang sebuah tasik tanpa nama di sebuah bukit, yang hening dan takzim menanti seseorang akan mencelupkan kakinya, mencipta riak-riak kecil dan tiris di hati. Ia hanya seorang penulis yang hidup di sebuah cerita kecil, yang mungkin tak akan pernah kaubaca.
Ia membuka tempurung kepalanya
(13/02/10)
Perlu mengosongkan kepala untuk mencipta. Maka ia membuka tempurung kepalanya, menyendok otaknya sedikit-sedikit, mengisi kepalanya dengan semesta baru. Tapi ia lupa memasukkan burung hantu ke situ.
Sebuah kota tidur
Pk. 2.09 dini hari. Motor menderam lewat, menjauh. TV menyala entah untuk siapa. Seseorang mati tanpa alasan. Seseorang mencari kata. Sebuah kota tidur berselimut rindu.
Seekor burung Dodo
Seekor burung Dodo mematuk benaknya. Maka terciptalah sebuah alam semesta baru di kepalanya. Lengkap dengan kupu-kupu biru dan suara seruling dalam sebuah senja emas yang manis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H