Sri: 14 tahun; pembantu rumah tangga; sekolah hanya sampai kelas dua SMP; anak pertama dari empat bersaudara;asli Jawa; datang dari sebuah desa yang tak terjamah pembangunan di Lampung sana yang konon untuk menonton tivi Sri harus pergi ke kampung sebelah dengan menyeberang sungai.
Tapi Sri telah membuatku terharu.
Sri mau dan berusaha belajar Bahasa Inggris. Dia mengenal bahasa Inggris di SMP, tapi menurut pengakuannya pengalaman belajarnya tidaklah menyenangkan. Setiap kali bertemu denganku dan ada kata baru yang dia dengar dari tontonan di televisi, dia sempatkan untuk bertanya, “Mbak, come on, girl artinya apa?” misalnya.
Sri kemudian belajar dari buku yang kuhadiahkan. Geli dan terharu menyaksikan bagaimana Sri duduk di tangga dapur sambil membaca buku, berusaha memahami dan mengucapkan kata-kata yang dia temui di situ. Suatu ketika, contohnya, dengan polos dia bertanya “Mbak Wo (maksudnya Who) artinya apa sih?”
Sri juga suka membaca buku lainnya. Kosakata yang tak dipahami selalu dia tanyakan. Bahkan, dari obrolan dengan anak majikannya yang masih SD, Sri mendengar tentang Harry Potter. Jadi, ketika ditawari untuk membacanya, Sri menyambut baik.
“Tapi pinjamnya agak lama, boleh, Mbak?”
Sri masih polos dan senang bisa tinggal di Jakarta meski harus bekerja. “Daripada bengong di kampung,” akunya. Sri tidak tahu apa itu “traktir.” Ketika diajak keluar dengan janji ditraktir, Sri seolah butuh konfirmasi, “Traktir itu artinya dibayari, Mbak?”
Suatu hari…
“Sri masih mau sekolah? Bisa sambil kerja, kok. Belajarnya malam hari. Sri bisa ambil Kejar Paket B, namanya, setara dengan SMP.”
“Ga, Mbak. Belum.”
Ramadhan pun datang.
SRI pastilah lelah setelah bekerja seharian. Tapi setiap habis shalat lima waktu, dia selalu membaca Al Quran. Sri tidak pernah absen tarawih. Ketika diajak I’tikaf, hanya butuh sedikit waktu untuk menjelaskan apa itu, Sri pun mau.
“Tapi aku izin ibu dulu, ya, Mbak.”
Pengetahuan Sri tentang shalat sangatlah sedikit. Tapi, itulah Sri. Dia bertanya dan berusaha melakukan.
“Mbak-mbak pada shalat apa?,” tanyanya ketika menyaksikan kami melakukan shalat tahiyatul masjid. Dan hanya perlu satu kali I’tikaf untuk membuat Sri mafhum shalat dan ibadah apa saja yang bisa dia dirikan saat I’tikaf, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat I’tikaf.
Lebaran usai, saatnya kembali ke Jakarta. Dan Sri kini berjilbab, sambil memegang sapu, menyambut di depan pintu. Bisa saja Sri tidak berjilbab saat di rumah, banyak orang akan memaafkan karena menganggap Sri masih kecil. Secara fisik, Sri memang kecil, hanya 140 cm. Tapi dari bertanya dia tahu di depan siapa dia boleh melepas jilbabnya. Jilbab Sri adalah jilbab sukarela, bukan permintaan dari siapapun, juga bukan karena mode.
“Pantes, suka nanya-nanya pakai jilbab itu seperti apa,” kata seorang teman.
Di kamar Sri kini ada sebuah buku tebal. Beberapa kali Sri terlihat membacanya di teras.
“Sedang baca apa, Sri?”
“Panduan shalat dan doa, Mbak. Mau beli belum ada uangnya. Ini buku punya ibu.”
Allah, di depanku adalah seorang gadis kecil yang Kau beri hidayah.
Tadi malam.
“Sri, dapat THR ga? Gaji selama setahun sudah dikasih?”
“Sudah, Mbak. Dikasih 4 juta lebih sama ibu. Juga uang 500 ribu untuk di jalan. Ongkos juga ditanggung.”
“Wah, Alhamdulillah banget. Berarti sengaja disimpan sama ibu supaya Sri ga boros.”
“Iya. Tadinya mau dibelikan sawah, tapi belum cukup.”
“Disimpan dulu. Atau nanti dipakai untuk melanjutkan sekolah. Sri harus sekolah lagi. Ga boleh selamanya jadi pembantu.”
“Belum, Mbak, bantu orangtua dulu. Kalau saya ga kerja, siapa yang bantu orangtua?”
“Sri, kalau Sri sekolah, Sri akan bisa bantu orangtua lebih banyak dari sekarang. Bisa bantu adik-adik Sri untuk terus sekolah. Lagipula, sekolah kan gratis. Sekarang banyak cara supaya bisa sekolah lagi. Sri bisa kok sambil kerja”
“Iya, Mbak. Saya ga mau adik-adik saya ga sekolah. Sebenarnya ibu sudah menawari kalau saya mau, untuk sekolah di madrasah.”
“Wah, bagus tuh. Terus Sri bilang apa?”
“Belum jawab, Mbak. Kalau saya sekolah, nanti gaji saya dipotong ga?”
Sri, Sri. Entah bagaimana, aku yakin Sri akan sekolah kembali. Hal-hal baik akan terjadi pada orang yang baik, cepat atau lambat. Hanya menunggu waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H