Namanya kultum, kuliah tujuh menit, mestinya singkat dan padat, sisipan yang menyegarkan. Pada praktiknya, ia kerap menjadi "kulpum" alias kuliah puluhan menit yang menyita waktu lebih banyak dari acara inti, misalnya saja dalam rangkaian kegiatan tarawih berjama'ah.
Kultum akhirnya hanya sekadar nama, jarang sekali selaras dengan praktiknya. Adakalanya yang tampil asyik sendiri dengan monolognya, lupa dengan pendengarnya. Lupa bahwa tujuan utama orang-orang berkumpul di sana adalah untuk shalat berjamaah, bukan khusus mendengar ceramah panjang lebar seperti berkumpulnya para ibu di sebuah majlis ta'lim karena ingin mengkaji sesuatu, misalnya.
Malam itu kultum yang biasanya hanya 15-20 menit membengkak menjadi hampir satu jam. Sang Ustadz asyik mengekspos pengetahuannya, meloncat dari topik ini lalu ke topik itu. Suaranya bersaing dengan suara seperti dengungan lebah yang berasal dari jamaah yang sibuk mengobrol, ditingkahi anak-anak kecil yang tak henti bermain, berteriak, dan berceloteh. Suara jamaah yang mencoba tilawah Al Quran pun hilang ditelan semua keriuhan.
Ketika menit ke-30 terlewati, seorang jamaah akhirnya memutuskan untuk tarawih seorang diri dengan alasan, "Kalau nunggu lagi, ga jelas berapa lama. Kelamaan nunggu ntar jadi males shalatnya dan ga mood. Mumpung masih belum mengantuk juga."
Keesokan harinya, ustadz lain muncul: fokus pada satu cerita sederhana, hanya 20 menit, dengungan jamaah jauh berkurang, dan pesan inti ceramahnya pun tersampaikan. "Jadi, maksud ceramah ustadz tadi begini, kan?" seorang ibu berujar ke temannya ketika kegiatan di masjid usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H