Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 di Indonesia mencerminkan dinamika unik demokrasi lokal. Salah satu sorotan utama adalah meningkatnya jumlah wilayah yang menyelenggarakan pilkada dengan pasangan calon tunggal, di mana pilihan pemilih terbatas antara pasangan calon dan kotak kosong. Dari total 545 wilayah yang menyelenggarakan pilkada, terdapat 37 wilayah dengan calon tunggal, termasuk satu provinsi, 31 kabupaten, dan lima kota.
Fenomena ini penting untuk dipahami karena menjadi indikator dari kualitas persaingan politik, representasi rakyat, dan kesehatan demokrasi di tingkat lokal. Artikel ini berfokus pada analisis bagaimana kotak kosong menjadi penantang simbolis pasangan tunggal, menggali data dan fakta terkait, serta meninjau implikasi lebih luasnya terhadap demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan data KPU, calon tunggal di pilkada serentak 2024 mencakup wilayah seperti Papua Barat, Banyumas, dan Surabaya. Calon tunggal ini menghadapi mekanisme unik di mana pemilih dapat memilih pasangan tersebut atau kotak kosong sebagai opsi kedua. Pasangan calon tunggal akan dinyatakan menang jika meraih lebih dari 50% suara sah. Sebaliknya, jika kotak kosong menang, pilkada harus diulang pada periode berikutnya.
Tren ini bukan fenomena baru. Sebelumnya, pilkada serupa juga pernah berlangsung, seperti di Makassar pada 2018, di mana kotak kosong berhasil mengalahkan pasangan calon tunggal dengan suara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat terkadang menggunakan kotak kosong sebagai simbol protes terhadap calon yang dianggap tidak representatif atau karena dominasi politik yang terlalu kuat di suatu daerah.
Peningkatan jumlah pasangan calon tunggal mengindikasikan tantangan dalam sistem politik lokal, termasuk kendala regulasi pencalonan, minimnya partai politik yang mendukung calon alternatif, atau dominasi politik dinasti. Menurut pengamat politik Firman Noor, fenomena ini mencerminkan kurangnya kompetisi politik yang sehat dan menunjukkan bahwa partai politik cenderung pragmatis dalam menentukan kandidat, memilih calon kuat tanpa mempertimbangkan keberagaman pilihan.
Dari perspektif demokrasi, kotak kosong bisa dilihat sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakpuasan. Pemilih yang memilih kotak kosong bukan hanya mereka yang tidak setuju dengan pasangan calon, tetapi juga mereka yang ingin menyampaikan pesan politik kepada elite lokal. Di sisi lain, keberhasilan kotak kosong juga bisa diartikan sebagai peringatan bagi sistem politik bahwa rakyat membutuhkan calon yang lebih representatif dan kompetitif.
Salah satu contoh konkret adalah Pilkada Makassar 2018, di mana kotak kosong menang dengan lebih dari 53% suara melawan pasangan calon tunggal. Kemenangan ini menunjukkan bagaimana masyarakat menggunakan kotak kosong sebagai simbol perlawanan terhadap calon yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi mereka. Kejadian serupa dapat berpotensi terulang di wilayah-wilayah lain pada 2024 jika calon tunggal tidak mampu meyakinkan masyarakat secara substansial.
Fenomena ini menimbulkan sejumlah pertanyaan penting. Apakah dominasi pasangan tunggal mencerminkan konsolidasi kekuatan politik yang sehat atau justru krisis dalam demokrasi lokal? Kotak kosong memberikan jalan bagi masyarakat untuk menolak kandidat yang tidak mereka inginkan, tetapi solusi jangka panjang membutuhkan penguatan sistem politik yang lebih kompetitif. Para ahli sepakat bahwa reformasi partai politik dan kebijakan pencalonan sangat penting untuk mendorong munculnya lebih banyak calon alternatif di masa depan.
Fenomena pasangan tunggal versus kotak kosong dalam pilkada 2024 merupakan cerminan dari dinamika politik lokal di Indonesia. Meskipun memberikan peluang bagi masyarakat untuk menyuarakan protes, keberadaan kotak kosong juga menjadi pengingat bahwa sistem politik membutuhkan perbaikan agar lebih kompetitif dan inklusif.
Untuk memperkuat demokrasi lokal, penting bagi partai politik untuk lebih aktif mendorong kaderisasi dan membuka ruang bagi calon alternatif. Selain itu, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu memastikan bahwa regulasi pencalonan tidak menjadi hambatan bagi munculnya calon yang kompeten. Dengan langkah-langkah ini, demokrasi di tingkat lokal dapat berkembang lebih sehat.