Sampang, konon merupakan kabupaten terburuk kedua di Indonesia. Saya tidak punya banyak data, tapi saya bisa sedikit menggambarkannya, seperti apa yang saya amati selama KKN disana.
Kabupaten Sampang, Madura tetap menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur meskipun berbeda pulau. Hal yang wajar karena untuk menuju kesana dari Surabaya hanya dibutuhkan waktu 2 jam perjalanan dengan motor, dan 3 hingga 3,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum. Adanya jembatan Suramadu semakin memudahkan transportasi.
Daerah tujuan KKN mahasiswa, sudah terbayang dalam benak saya, pastilah daerah yang ndeso banget, jauh di pelosok, akses berbagai fasilitas susah dan mayoritas penduduknya hidup serba kekurangan. Saya sudah sudah siap dengan segala kondisi tersebut, tapi saya tetap terkejut ketika menghadapinya langsung.
Angkutan umum menurunkan saya di jalan besar. Desa Kara, tempat saya KKN hanya bisa ditempuh dengan ojek. Saya, menyetir motor dengan 2 abang ojek berboncengan di depan saya, terus mengira perjalanan akan segera berakhir. Nyatanya, si abang ojek tak berhenti juga. Sebenarnya kami hanya melalui satu jalan lurus yang penuh lubang. Perjalanan terasa lebih lama karena kondisi jalan yang sangat memprihatinkan. Kami sudah melewati rumah-rumah, hamparan sawah, hutan bambu, jembatan, sawah lagi, rumah lagi, hutan jati, jembatan lagi, sawah lagi, rumah lagi, dan akhirnya balai desa. Huff, sampai juga. Perjalanan masuk desa ini lebih melelahkan dibandingkan perjalanan Surabaya-Sampang.
Air menjadi masalah serius. Pertanian dan perkebunan mendapat dampak negatif langsung. Singkong, yang banyak tumbuh disini, rata-rata berbuah keras karena kandungan airnya sangat sedikit. Bagi anak-anak peserta KKN, kelangkaan air berarti jarang mandi, irit mencuci dan sabar antri buang air. Sementara beberapa kawan mengeluhkan kenapa di dalam bak ada ikan? Atau kenapa baju yang sudah dicuci malah membuat gatal?
Seperti kata dosen saya “Ini baru the real KKN!”. Segala gambaran kemunduran desa ini memenuhi syarat bagi profil desa tujuan KKN. Mengapa? Air hanya hanya salah satu cerita. Berikutnya adalah listrik. Malam ketiga di desa, kami makan malam dalam kegelapan. Kami hanya ditemani dua lilin yang hampir padam, jadilah kami candlelight dinner. So romantic^_^. Beberapa kali peristiwa seperti ini terjadi. Kami juga harus bersabar menunggu nasi matang karena begitu rice cooker dinyalakan, sering sekali listrik turun. Untuk itu kipas angin , lampu, dan setrika harus mati demi memasak nasi.
Memang benar, listrik sudah masuk di desa ini. Tapi hanya titik tertentu sepanjang jalan desa yang dipasangi lampu. Misalnya di depan rumah Pak Klebun (Kades), balai desa, atau toko-toko yang sangat sedikit jumlahnya. Selebihnya gelap, hingga berkendara di malam hari berasa seperti mengarungi wahana jalan hantu yang horor. Pengendara yang hanya diterangi lampu motornya sendiri, senatiasa diliputi kecemasan akan kemungkinan disergap penjahat dari depan atau dicolek setan dari belakang.
Mahasiswa peserta KKN tak pernah lepas dari cerita kehilangan. Tahun lalu laptop yang hilang. Tahun ini, 2 handphone hilang dalam sejam, berikut beberapa baju di jemuran. Parahnya, salah satu dari handphone yang raib itu adalah milik seorang tamu, teman KKN di desa sebelah yang sedang main ke tempat kami.
Saya kira, orang jahat memang ada dimana-mana. Apalagi sistem kapitalisme yang busuk ini telah menjadikan orang kehilangan nurani. Kesenjangan yang dengan sukses diciptakannya memastikan berlakunya hukum rimba, yang kuat memangsa yang lemah, yang lemah terpaksa memangsa yang tidak bersalah untuk bertahan hidup.
Saya akan terus menyalahkan sistem ini. Sistem yang membuat program perbaikan jalan tidak sampai ke desa ini karena kontraktor tidak melihat manfaat bagi dirinya jika memperbaiki jalan di desa yang miskin sumber daya ini. Bukan salah kontraktor sebenarnya karena sebenarnya ini adalah tanggung jawab pemerintah.
Sistem pula yang membuat anak-anak di desa ini memandang materi adalah segalanya. Pendidikan tidak berguna karena tidak mampu mengangkat taraf hidup mereka. System yang membuat para orang tua lebih ridha anaknya bekerja dibanding belajar. Sistem yang memaksa orang tua lebih suka membekali anaknya dengan carok dan cangkul ketimbang buku dan pensil. Sistem yang membuat pemandangan siswa tanpa alas kaki dan bertas kresek hitam sebagai tempat bagi peralatan tulisnya menjadi hal yang biasa. Apakah fakta-fakta ini sampai ke hadapan penguasa? Saya tak perlu menjawabnya.