Mohon tunggu...
hikmah afiqah
hikmah afiqah Mohon Tunggu... -

Hikmah bermakna pengetahuan tentang realitas faktual dan pengetahuan mendalam yang diikuti perbuatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

C.I.N.T.A ai SHITERU

17 Juni 2012   14:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:52 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

OPENING SPEECH "Kisah ini terjadi kira-kira setahun yang lalu, tepat di bulan Ramadhan  tahun 2011. Pastinya tidak aktual lagi, but please enjoy it!"

Hmm.. Akhirnya saya putuskan naik bus saja. Agak ngeri juga melakukan perjalanan selama kurang lebih 3 jam malam-malam begini. Tapi, harus saya lakukan juga karena kereta terakhir ke Jombang sudah berangkat  1,5 jam yang lalu. Sementara pada saat yang sama ada agenda yang tidak bisa ditinggalkan. Baiklah, saya sudah menguatkan tekad!

Kepulangan ini memang lumayan mendadak. Usai melaksanakan ibadah tidur di siang Ramadhan (hehehe), ketika kesadaran masih separuh, isi sms dari rumah membuat mata ini melek sempurna. Adegan selanjutnya, saya sudah bercucuran airmata tanpa suara.  Ah, saya jadi merasakan benar betapa saya telah melakukan kedzaliman yang luar biasa pada keluarga. Sudah seharusnya saya membuktikan cinta kepada orang-orang yang telah melimpahkan cinta tak terbatas kepada saya. Semoga kepulangan saya kali ini bisa sedikit membuktikan hal itu. Sungguh, saya cinta bapak ibu…

Alhamdulillah, arus mudik belum seberapa. Saya bisa mendapat tempat duduk yang nyaman dalam bus yang remang-remang karena lampunya tidak dinyalakan. Suasananya amat mendukung upaya memejamkan mata. Selama beberapa saat saya tidak mengikuti segala aktivitas dalam bus. Hanya samar-samar saja saya dengar pengamen yang menyanyikan lagu yang tidak saya kenal. Tapi, sekali waktu saya langsung membuka mata ketika mendengar sebuah lagu yang sedang ngetrend saat i ni. Tapi mungkin bukan hanya karena kepopuleran lagu itu yang membuat saya terbangun. Saya justru lebih tertarik pada suara yang membawakannya. Benar saja, pengamen ini berbeda dengan pengamen sebelumnya. Yang bernyanyi usianya sekitar 8-9 tahun. Sementara yang memainkan alat musik bikinan sendiri usianya sekitar 11-12 tahun. Mereka membawakan lagu C.I.N.T.A dan kemudian disusul  lagu Ai Shiteru. Entah, saya kurang tahu nama band yang menciptakan dan memopulerkan kedua lagu ini. Yang jelas saya tahu kalau kedua lagu ini ngomong masalah cinta. Cinta yang indah, yang tak menuntut apapun, yang penuh dengan pengorbanan. Ups, maaf kalau saya salah menafsirkan, itu semua penafsiran saya sendiri.

Cara kedua anak itu dalam membawakan lagu ini amat ganjil dalam pandangan saya. Tidak ada masalah dalam artikulasi, kontrol nada ataupun kemerduan suara. Mereka menyanyikannya dengan lantang, tanpa keraguan. Yang membuat perasaan saya terganggu adalah, saya rasakan betul bahwa mereka tidak mempercayai sama sekali syair-syair yang mereka nyanyikan. Dalam bahasa ringkasnya, mereka sama sekali tak mempercayai CINTA.Uh, mata saya tiba-tiba terasa seperti kelilipan. Saya ingat bapak ibu, kakak adik, saudara-saudara seiman saya di Surabaya dan di seluruh dunia. Saya memiliki banyak orang yang mencintai saya dan saya pun demikian. Perasaan demikian harusnya dimiliki pula oleh kedua anak itu. Jika pun kedua orang tua mereka tidak dapat memberikan kasih sayang yang mereka butuhkan, mereka harusnya dapat mendapatkannya dari orang-orang di sekitarnya. Benarkah tak ada lagi orang-orang yang peduli hingga kemudian mereka terpaksa harus mengamen untuk mencari sesuap nasi? Seolah-olah mereka tak berhak untuk sekolah, tak layak mendapat waktu untuk bermain. Jika pun lingkungan mereka sendiri adalah lingkungan orang miskin semua bukankah ada negara yang paling bertanggung jawab atas ini? Bukankah negara yang paling berhak  memelihara anak yatim dan fakir miskin? Bukankah negara yang berkewajiban memenuhi keperluan rakyatnya?

Harapan saya sepertinya akan tinggal harapan saja. Hhh.. saya baru saja melihat berita tentang rencana DPR membangun gedung baru untuk “melancarkan” aktivitas mereka.  Para wakil rakyat itu berpendapat mereka layak mendapat bangunan baru senilai 1,6 triiun lengkap dengan kolam renang dan spa. Untuk keperluan individu masing-masing dari mereka harusnya juga mendapat sebuah ruang kerja seluas 120 m2  dengan biaya total mencapai 1 triliun. Semua itu disampaikan dengan gaya innocentnya oleh para pejabat tinggi kita itu dalam draft usulan mereka kepada pemerintah.

Ah, saya juga jadi teringat demo yang dilakukan teman-teman mahasiswa di Bandung sana. Mereka menilai kelakuan gubernur mereka yang mencetak kartu lebaran senilai 1 miliar untuk dibagikan pada pejabat daerah hingga tingkat RT itu, sungguh-sungguh melampaui batas. Betapa tidak,untuk keperluan kartu lebaran dengan potret diri dan perangko bergambar sang gubernur tersebut dipakailah uang APBD milik rakyat.

Jika para penguasa kita memiliki sedikit saja rasa cinta pada rakyat, saya kira mereka takkan melakukan perbuatan menyakitkan seperti itu. Sedikit rasa cinta akan membuka pikiran mereka betapa sistem yang ada saat ini tak tepat sama sekali untuk mensejahterakan rakyat, yang menjadi amanah mereka. Jika saja mereka mau sejenak membuka mata dan melihat  kondisi rakyat yang mereka wakili. Sebanyak 22 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sekian persen berstatus pengangguran. Beban hidup dirasa kian berat dengan kenaikan TDL dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Berapa banyak Sumber Daya Alam yang menjadi hak rakyat telah diserahkan dengan harga demikian murah kepada pihak asing yang sebenarnya tak berhak sama sekali atasnya,sebagai buah dari berbagai macam undang-undang yang diketok oleh para wakil rakyat kita itu. Saya kira masih banyak lagi hal-hal yang membuktikan bahwa para penguasa kita telah berkhianat pada janji-janji manis yang mereka sampaikan ketika kampanye dulu. Semuanya hanya omong kosong pemanis bibir dan pemikat hati rakyat yang berpengharapan besar kepada mereka.

Ah, cinta kita telah dikhianati secara massal. Demikianlah akhirnya kesimpulan saya. Syair-syair cinta tak lebih sebagai pelipur hati yang sakit. Sama sekali tak menyembuhkan, hanya sekedar membuat kami lupa sejenak pada rasa sakit itu. Saya merindukan Umar bin khattab, sang pemimpin umat pemilik kerelaan yang mengagumkan, mau bersusah payah menggotong sendiri bahan makanan bagi seorang janda yang menjadi amanahnya. Saya rindu Ibnu Abdul Aziz yang di masa pemerintahannya tidak seorangpun rakyatnya yang berhak menerima zakat saking makmur dan sejahteranya kehidupan mereka. Saya rindu  satu generasi yang orientasi hidupnya adalah berbuat sebanyak-banyaknya bagi sesama manusia, bukannya senantiasa mendahulukan kepentingan pribadinya. Saya rindu, benar-benar rindu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun