Berawal dari sebuah tugas untuk mendiskusikan nilai-nilai Pancasila khususnya sila pertama, saya mencoba mengaitkan dengan sebuah kasus yang sering terjadi di Indonesia saat ini, yaitu pemimpin sebuah daerah/pemerintahan yang beragama Non-Muslim. Disini saya tidak memandang kasus siapapun, saya hanya memandang dari segi agama dan konstitusi di Indonesia.
Di dalam alquran di tegaskan tentang aturan hukum larangan dalam menjadikan orang non muslim menjadi pemimpin suatu daerah.
Surat Ali Imran : 28, yang terjemahnya sebagai berikut:
”Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembali.”
Namun dalam penafsirannya disini hanya bagi orang non muslim atau kafir yang memusuhi dan memerangi islam jadi untuk golongan non islam yang berdamai dengan orang-orang Islam, sebaiknya umat Islam harus berbuat baik dan berbuat adil. Sesuai dg QS. Al-Mumtahanah “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
malah sebaliknya kita memberikan hak-hak politik sebagai warga Negara, yang sama dengan warga Negara lainnya, sehingga mereka tidak merasa terasingkan sebagai sesama anak Ibu Pertiwi
Selain itu Di zaman moderen, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politika, kekuasaan terbagi menjadi tiga (pemerintah /eksekutif, Parlemen/Legislatif, Kehakiman/Yudikatif). Jadi tida kada lagi Pemimpin berkuasa mutlak seperti masa Nabi dan sahabat, karena sekarang dikontrol oleh kekuasaan lain, yakni MPR/DPR dan Kehakiman (MA dan Kejaksaan Agung). Jadi tidak perlu khawatir, jika suatu saat ada pemerintah (ada wakil Gubernur non Muslim), karena tetap dikontrol oleh Presiden dan Gubernur di atasnya, DPRD, Pengadilan, Kejaksaan dan KPK, yang semuanya adalah bahagian dari Pemimpin kolektif.
Jadi yang haram secara AZIMAH menurut dilalah “Waliy” yg ada di zaman Nabi, ialah jika seorang non Muslim dipilih jadi pemimpin yang memegang semua kekuasaan Presiden, MPR/DPR,/DPRD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPK, Kejaksaan, Panglima TNI semuanya dipegang oleh satu orang sendirian, yang berstatus non Muslim, atau semua dipegang (dibagi-bagi) oleh banyak orang yang semuanya non Muslim. Tetapi sepanjang di antara mereka Penguasa2 itu ada Muslim (bahkan lebih banyak muslimnya) walaupun ada di antaranya Non Muslim, demi kebersamaan dan persatuan bangsa, maka hukumnya TIDAK HARAM
Perlu diingat, negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam sistem demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias hanya pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.
Dengan demikian, kalau memang pemimpin nonmuslim hukumnya haram, mestinya penerapannya untuk konteks negara kita bukan hanya berlaku untuk lembaga eksekutif saja, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik modern bukanlah bersifat personal melaiankan kolektif dan sistemik. Tapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih pemimpin nonmuslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap republik kita.
Di samping itu, dalam situasi dan kondisi Indonesia yang demokratis, tentu kekhawatiran seperti itu kurang beralasan, karena kekuasaan Pemerintah Daerah tidak mutlak dan tidak absolut. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan serta kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta apa saja yang tidak boleh dilakukan.
Misalnya Pasal 28 Poin (a) menyebutkan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
Dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman Negara Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.
Dengan demikian, Negara kita bukan merupakan Negara Islam. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam. Di mata Negara, kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang sama, termasuk hak memilih dan hak dipilih. Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28D Ayat 3 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Artikel ini berdasarkan pemahaman dan evaluasi dari artikel terkait lainnya.. CMIIW
Terima kasih sudah membaca (^_^)
sumber:
http://politik.kompasiana.com/2012/09/12/al-quran-membolehkan-pilih-pemimpin-non-muslim-492673.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H