Pak Tua itu tahu: dia meracik segelas kopi agar seseorang tidak perlu takut menatap telepon, ketika duduk di kursi yang satu, sedang kursi di sampingnya kosong.
Dering panggilan pasti sangat berarti buatnya, semacam nabi yang menunggu wahyu untuk menangkis keraguan iman. Tapi tentu saja dia bukan nabi. Dan cukup menghibur juga jika rombongan pengamen datang (bukan kafilah musafir, tentunya) untuk mencairkan kebekuan lututnya.
"Ada apa dengan lututnya?"
"Dia gemetar. lihat. Kesepian bisa jadi terlalu berat dan dingin."
"Itu berlebihan. Tapi kelihatannya begitu."
Memang begitu. Matanya menatap kosong. Itu seperti kejadian umur 12 tahun saat pergantian gigi. Lidah yang tiap beberapa menit sekali berkeliling mulut dan tetap tak menemukan apa-apa di bagian gusi yang melompong. Kekosongan yang menganga. Dan, seperti yang kita saksikan saat ini, laki-laki itu mengerti ada semacam kesunyian yang merayap ke mana-mana. Mungkin asap sigaret yang menyebar lalu pasrah dikibas angin itu ingin mengutarakan hal itu, seandainya kita tahu.
"Segelas Kopinya sudah datang."
Mari kita sederhanakan saja: mungkin tadi malam saat perayaan tahun baru dan kembang apinya mlempem sehingga tidak meluncur. Tidak. Itu tidak berpotensi membuatnya sedih begitu. Bukannya ada banyak kembang api dan dia hanya perlu modal sepasang mata? Mungkin saja memang dia tidak punya kembang api. Atau, dan ini kemungkinan terburuk, dia tidak punya kembang ati. Tidak memiliki Si Bunga Hati, saat seseorang seharusnya bersama-sama melewatkan tanda pergantian tahun, pergantian cerita, oh, sungguh mengerikan. Bisakah dibayangkan ada seseorang menutup tahun dengan melamun?
"Sendirian, itu pasti malam yang sangat lama. Seperti bertahun-tahun."
"Bahkan lebih."
"Ya. Bahkan lebih."