Mari kita mengenal lebih dahulu suku Awyu atau Auya merupakan suku adat yang berasal dari tanah papua selatan yang mendiami daerah aliran sungai Digul di pesisir Papua Selatan. Kehidupan suku Awyu sangat bergantung pada kelestarian hutan, tanah, sungai, rawa dan hasil kekayaan alamnya , karena itu semua merupakan sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan mereka sehari-hari. Hutan yang mereka tinggali merupakan hutan adat yang sangat mereka lindungi dan mereka lestarikan. Bagi mereka hutan merupakan "rekening abadi" karena hutan menjadi ruang hidup untuk memenuhi kebutuhan bagi masyarakat.
Pasalnya, hutan mereka  akan diambil alih menjadi kebun sawit karena adanya izin usaha sejumlah perusahaan sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Masyarakat adat suku Awyu merasa khawatir dengan diambila alihnya hutan mereka sebagai perkebunan sawit yang mana mereka akan kehilangan mata pencaharian, pangan, dan sebagainya yang selama ini mereka gantungkan hidupnya kepada hutan. Tak hanya keadaan hutan yang terancam namun lahan tempat mereka berladang, sungai yang masih alami, rawa-rawa, sumber air hernia untuk mereka konsumsi yang berada di dalam hutan tersebut juga akan terancam hilang.Â
Tentunya rencana pengalihan lahan dari hutan ke kebun sawit tak hanya merugikan masyarakat adat suku Awyu tetapi juga akan berdampak bagi lingkungan sekitar dan juga merusak sebuah komitmen dari iklim pemerihtah indonesia yang telah disepakati sebelumnya.Â
Jika pemerintah mengizinkan para perusahaan sawit itu mengambil lahan hutan untuk kebun sawit maka akan terjadi deforestasi atau penggundulan dalam skala hektar yang sangat besar bahkan digadang-gadang luas lahan yang akan di deferontasi sebesar luas setengah dari wilayah Jakarta. Karena deforestasi atau pengalihan lahan merupakan sumber emisi terbesar Indonesia.Â
Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pemerintah berkomitmen akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Maka dari itu masyarakat adat suku Awyu mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil untuk menggugat izin perusahan lahan kebun sawit di hutan masyarakat adat suku Awyu yang akan beroperasu du Boven Digoel.Â
Dengan potensi emisi sebesar 39.190 hektar untuk izin lokasi dan deforentasi yang telah dilakukan sebesar 78. 843 hektar untuk lokasi yang telah mendapat izin pelepasan hutan. Dari 26.326 hektar dari area hutan bering primer. Dengan potensi emisi yang akan dikeluarkan sebanyak 23 juta ton emisi karbondioksida dari deforentasi.Â
Semua ini berawal dari tahun 2022 dimana Hendricks Woro bersama komunitas cinta tanah adat-komunitas para legal yang beranggotakan masyarakat Awyu untuk mencari sejumlah informasi dari dinas pemerintah. Pada bulan Juli 2022 Hendrikus Woro menyampaikan permohonan informasi publik ke Dinas Penanaman Modal dan pelayanan terbuka satu pintu provinsi Papua Selatan tentang perizinan PT. Indo Asia Lestari (IAL) group perusahaan asal Malaysia Whole Asia Group  kepada masyarakat suku Awyu.Â
Selanjutnya tanggal 13 Market 2023 Hendrikus Woro mengajukan gugatan ke dinas lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura bersama tetua masyarakat suku Awyu untuk menentang deforentasi yang akan terjadi di hutan mereka. Pada 9 Mei 2023 terdapat enam masyarakat adat suku Awyu diantaranya Gergorius, Yame dan Barbara Murki, mengajukan diri sebagai tergugat intervensi dalam gugatan PT KCP dan PT MJR di PTUN Jakarta. Pada 5 September 2023 PTUN Jakarta menolak gugatan PT KCP dan PT MJR yang mana putusan ini dimenangkan oleh masyarakat adat suku Awyu untuk terus mempertahankan hutan adat mereka.Â
Pada sidang terakhir gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di PTUN Jayapura yang dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2023 dalam gerakan solidaritas selamatkan hutan adat papua yang terdiri dari 73 organisasi dan 94 individu mengirimkan Surat terbuka kepada majelis hakin untuk menyatakan dukunganya kepada masyarakat adat suku Awyu. Namun pada awal November di tanggal 2 November 2023 PTUN Jayapura menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang diajukan oleh Hendrikus Woro.Â