Mohon tunggu...
Izzah Nuruz Zakiya
Izzah Nuruz Zakiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Nim 23107030015

Saya seorang mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di UIN Sunan Kalijaga yang gemar membaca, menulis, menonton film, dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Warak Ngendog dalam Tradisi Dugderan Semarang Guna Sambut Ramadhan

18 April 2024   08:21 Diperbarui: 18 April 2024   08:28 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://gayamsari.semarangkota.go.id/

Tradisi warak ngendog di semarang sudah lama dilestarikan sebagai acara untuk menyambut bulan ramadhan. Tradisi ini biasanya berlangsung di pasar dugderan yang sering berlangsung di daerah kawasan pasar johar namun lokasi setiap tahunnya bisa jadi berubah tempat sesuai aturan pemerintah setempat. Warak ngendog sebenarnya adalah mainan anak-anak jaman dahulu yang sangat diminati oleh banyak anak-anak dan biasanya dijual di pasar dugderan sebuah pasar yang hanya buka sebelum hari ramadhan tiba saja yang tentu saja menjadi sebuah ikon wisata semarang sebelum menjelang bulan ramadhan. 

Wujud dari warak ngendog sendiri sangatlah unik dimana mainan warak ngendog ini berbentuk seperti hewan berkaki empat dengan leher panjang, berbulu keriting kadang lurus kadang ada juga yang terlihat acak-acakan dengan aneka warna khusunya warna putih, merah, kuning, hijau dengan dengan sudut-sudut tubuh dan kepala yang lurus. Dan kata "Ngendog" yang berarti bertelur itu karena terdapat sebutir telur yang ditaruh tepat dibawah tubuh atau di sela-sela kaki warak tersebut. Jika digabung kalimat Warak Ngendong berarti Warak yang sedang bertelur.

Nah, disini masyarakat mulai mengartikan kehadiran atau perwujudan warak itu sama seperti kambing, kuda, kerbau, barongsai, atau bahkan badan anjing. Sementara kepalanya ada yang mirip dengan kambing, naga Jawa, naga cina, dan sebagainya. Lain halnya dengan bulu-bulunya yang memiliki beragam bentuk ada yang keriting, lurus, berombak atau bersisik.

Disebutkan dalam buku Programa Dugderan Masjid Besar Semarang (2004) menjelaskan bahwa bentuk fisik warak ngendog mewakili suku-suku yang ada di semarang karena tubuh nya yang mirip kambing yang merupakan simbol dari suku jawa sementara kepalanya yang berbentuk naga merupakan simbol dari suku cina dan bulu-bulunya yang keriting merupakan perwujudan dari suku Arab. Sebenarnya bentuk warak ngendog sangat beragam hal ini juga menjadi persoalan bila disepakati sebagai ikon Kota semarang. Menurut penuturan pengrajin warak ngendog sendiri menjelaskan bahwa perwujudan warak ngendog menunjukan sifat atau karakter masyarakat semarang hal ini ditunjukkan pada bulu warak ngendog yang lurus dan tegas seperti watak orang semarang yang suka blak-blakan dan apa adanya dan memiliki leher yang lurus yang mencerminkan masyarakat semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya yang berarti tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan.

Warak ngendog yang sebagai binatang mitologis yang berasal dari semarang ini sebagai simbol sebagai pemersatu 3 etnis mayoritas yang tinggal di semarang yakni suku Jawa, suku cina, dan suku Arab yang bersama-sama mendiami wilayah semarang. Hewan khayalan yang berasal dari semarang ini telah menjadi maskot ibu kota jawa tengah yaitu Kota Semarang. Sampai saat ini belum diketahui pasti siapa yang pertama kali membuat atau menciptakan warak ngendog ini sebagai hewan imajiner dan sampai dijadikan maskot kota Semarang. Namun terdapat sejarawan dari semarang yang bernama Nio Joe Lan dalam karma klasiknya "Riwayat Semarang" (1936), dan Amin Budiman dalam karma serially "Semarang Sepanjang Jalan Kenangan" (1976) media karma tulip tersebut pun tidak ada ing menjelaskan tentang keberadaan pencipta pertama kali warak ngendog. Namun pada penelitian Amin Budiman mengatakan bahwa binatang rekaan itu yang menjadi maskot ibu kota itu mulai dikenal semenjak abad ke-19 tepatnya pada tahun 1881-1897 dalam masa pemerintahan gubernur Ario Purboningrat. Dugaan ini dilihat dari kemunculannya mainan warak ngendog dalam setiap acara megengan atau dugderan yang sering dilakukan untuk menyambut Ramadhan di Kota Semarang.

Seorang budayawan Semarang  yang bernama Djawahir Muhammad, pun sependapat dengan Amen Budiman. Menurut Djawahir kemunculan Warak sebagai benda budaya atau karya seni kriya khas Semarang bisa dijelaskan secara ilmiah dengan menunjuk kembali pada penampilan pertama kali Pasar Malam Sentiling di Mugas yakni di tahun 1936 yang pada saat itu acaranya digelar untuk memperingati perayaan ulang tahun ratu Wilhelmina yang ke-100. Selain itu terdapat pula cerita Mistis yang beredar di masyarakat bahwa dahulu pernah ada masyarakat yang menemukan Warak Ngendog yang lebih menyerupai Badak cerita ini berkembang semenjak sejumlah warga tengah melakukan babat alas atau melakukan pembersihan terhadap hutan yang kini menjadi kampung Puwodinatan. Dari cerita tersebut masyarakat lokal akhirnya membuat kerajinan yang khas untuk acara dugderan yang diselenggarakan hanya satu tahun sekali untuk mneyambut ramadhan.

Saat ini keberadaan budaya benda Warak Ngendog yang dihasilkan oleh para pengrajin warak ngendog mulai membuat asal-asalan tanpa didasari oleh filosofinya. Sudah sejak lama keberadaan Warak Ngendog menjadi karya seni khas dalam acara dugderan. Mari kita mengenal tradisi setahun sekali dalam perayaan menyambut bulan ramadhan yakni tradi Dugderan yang berasal dari kota Semarang. Selain menjadi perayaan tahunan untuk menyambut ramadhan ternyata dugderan juga menjadi pesta rakya tahunan di kota Semarang. Tradisi Dugderan ini diselenggarakan bertujuan untuk menyamakan awal puasa dan hari raya idul fitri selain itu tradisi Dugderan juga digunakan untuk mencurahkan rasa rindu masyarakat kepada bulan ramadhan.

Mengutip dari buku "Sejarah Islam Nusantara" karya Rizem Azid menjelaskan bahwa Sejarah dari perayaan Dugderan berasal dari kata "Dugder" dimana kata dug tersebut merupakan suara khas dari Bedug sedangkan kata yang mengikutinya yakni Der berasal dari bunyi meriam yang dinyalakan. Karena itulan upacara perayaan dalam menyambut bulan Ramadhan disebut dengan "Dugdheran". Tradisi perayaan ini sudah dimulai sejak tahun 1881 M. Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat  pada kaman dahulu umat islam selalu memiliki perbedaan dalam pendapat tentang penentuan hari dimulainya puasa ramadhan. Kemudian, Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat memberanikan diri untuk menentukan hari awal untuk puasa ramadan yaitu setelah bedug Masjid Agung Jawa Tengah dibunyikan making-masing sebanyak tiga kali. 

Sebelum membunyikan bedbug dan meriam tersebut akan diadakan upacara di halaman kator kabupaten terlebih dahulu. Nah, sejak saat itu masyarakat kota semarang tidak lagi berbeda pendapatnya tentang hari pertama puasa bulan ramadan. Dalam buku 70 Tradisi Unik Bangsa Indonesia karma Fitri Haryani Nasution menceritakan bahwa perayaan tradisi dugderan dimulai dengan pemukulan bedug dan ditutup dengan perayaan letusan mercon dan kembang api. Biasanya pelaksanaan tradisi ini dimulai sejak pagi hingga menjelang senja, yaitu sekitar jam 8 sampai maghrib atau tenggelamnya matahari. 

Tradisi ini dimulai dengan adanya pasar kaget atau pasar rakyat dan dilanjutkan semacam karnaval seperti acara warak ngendog dan arak-arakan mobil. Dalam festival ini juga maskot warak ngendog juga ikutan di arak mengelilingi kota semarang. makna dari maskot warak ngendog adalah saat diselenggarakannya tradisi dugderan untuk pertama kalinya saat itu masyarakat kota semarang sedang mengalami krisis pangan dan teller menjadi makanan yang mewah saat itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun