Mohon tunggu...
Hindra Martono
Hindra Martono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebuah Dukungan untuk Pilkada Langsung

13 September 2014   18:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:48 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara kita butuh banyak pemimpin yang baik, dan Pilkada Langsung serta desentralisasi kekuasaan semenjak tumbangnya Orde Barulah yang memungkinkan munculnya pemimpin-pemimpin muda berkualitas seperti Jokowi dan Ahok.

Jokowi, yang tidak punya hubungan apa-apa dengan dinasti penguasa di Orde Lama dan Baru, memulai dari Walikota Solo, Gubernur Jakarta, sampai bisa menjadi Presiden RI. Ahok, etnis minoritas beragama Kristen, mulai dari anggota DPRD, menjadi Bupati di Belitung Timur, lalu sekarang mau menjadi Gubernur di Ibukota negara kita.

Desentralisasi kekuasaan memberikan mereka kesempatan untuk memupuk pengalaman menjadi seorang pemimpin, dan Pilkada Langsung menjadi sarana untuk menilai kualitas mereka selama menjadi pemimpin di daerah, karena pemimpin yang mengabaikan suara rakyat pastinya tidak akan terpilih lagi. Dengan skema seperti inilah, rakyat bisa memutuskan untuk "mempromosikan" pemimpin-pemimpin daerah terbaik: menilai performa mereka saat memikul tanggung jawab yang "kecil", lalu memberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk memikul amanah rakyat di kawasan yang lebih luas dengan permasalahan yang lebih kompleks.

Logika pendukung Pilkada DPRD mengatakan bahwa anggota DPRD kan dipilih rakyat, kok sebagai wakil rakyat gak boleh milihin pemimpin daerah? Kan sama aja, toh suara rakyat juga, terwakilkan kok?

Mungkin benar, tapi dalam sistem negara kita sekarang ini, pengawasan dan antusiasme pemilih untuk memilih anggota DPRD kalah jauh kalau dibandingkan Pilgub. Ada ratusan, bahkan ribuan anggota caleg yang bisa dipilih, siapa yang punya waktu ngecek satu-persatu rekam jejak dan program mereka? Kebanyakan pemilih hanya akan mencoblos lambang partai, memungkinkan partai menempatkan orang-orang yang disukainya saja, terlepas dari bibit-bebet-bobot orang tersebut. Pun, kalau saya sudah menentukan saya suka caleg A, kalau suara individual caleg A tidak melebihi ambang batas untuk menduduki kursi, suaranya nanti akan "dikembalikan" ke partainya, lalu disumbangkan ke caleg yang punya nomor urut lebih tinggi. Dengan begini, partai yang berkuasa menentukan nomor urut bisa leluasa menempatkan orang-orang kesukaannya saja, yang loyal dan mementingkan kepentingan partai. Caleg A mungkin baik dan saya suka, tapi dengan sistem sekarang suara saya untuk caleg A bisa "nyasar" ke caleg B di partai yang sama, yang padahal saya sebenarnya benci tapi tidak bisa saya cegah kepergian suara saya karena aturannya harus mendahulukan caleg dengan nomor urut kecil.

Lain halnya tentu, dengan Pilgub yang jumlah calonnya biasanya bisa dihitung dengan jari. Cagub-cawagub akan ditempatkan dalam mikroskop media yang memungkinkan semua pemilih menilai mereka dari berbagai sudut pandang. Ya, bias media selalu ada, tapi seenggaknya kita punya waktu lebih banyak untuk menganalisis masing-masing calon dibanding caleg DPRD, jadi kita bisa awasi dan minta pertanggungjawabannya kalau tidak memenuhi amanah. Dan, tidak ada ceritanya suara saya untuk Cagub A bisa nyasar ke Cagub B.

Intinya, saya gak sreg memberikan kekuasaan lebih besar pada anggota DPRD, di mana preman Tanah Abang yang pake Lamborghini tidak berizin (dan pake bohong lagi pas ketangkep!) saja bisa menjadi anggota DPRD, untuk memakai hak saya memilih pemimpin daerah. Ini adalah sebuah manuver haus kekuasaan dari Koalisi Merah Putih, memanfaatkan posisi mereka sebagai mayoritas di parlemen. Desentralisasi kekuasaan memberikan keleluasaan yang besar untuk menentukan kebijakan bagi Gubernur/Bupati/Walikota, dan Koalisi Merah Putih yang gagal dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui Pilpres, berencana untuk meraup kekuasaan di daerah, dengan menempatkan kader kesayangan mereka sebagai "presiden-presiden kecil".

Demokrasi Indonesia baru benar-benar dimulai semenjak berakhirnya Orde Baru. Masih banyak yang harus dibenahi dan dikembangkan dalam sistem perpolitikan kita, dan warga Indonesia secara keseluruhan juga masih dalam tahap pembelajaran agar semakin melek dan peduli politik. Pengembalian hak untuk memilih dalam Pilkada kepada DPRD tentunya adalah sebuah langkah mundur bagi Demokrasi kita. Saya mengajak agar kita peduli terhadap perkembangan masalah ini, agar hak yang sudah diberikan kepada kita dalam semangat Reformasi tidak dirampas kembali, agar pembelajaran politik kita tetap berjalan maju, dan agar banyak pemimpin muda berkualitas seperti Pak Jokowi dan Pak Ahok boleh hadir dan diberi kesempatan untuk memikul nasib bangsa Indonesia menuju arah yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun