Akhir-akhir ini ramai berita melaporkan kondisi polusi di Jakarta yang semakin parah, beberapa sumber bahkan menempatkan Jakarta di urutan teratas di antara kota paling berpolusi di dunia.
Contohnya, berdasarkan laporan dari situs Air View (airview) pada tanggal 31 Juli 2019, tingkat polusi udara Jakarta terukur secara penilaian AQI (Air Quality Index) berada di angka 227. Hal ini berarti udara di Jakarta sangat tidak sehat.
AQI merupakan standar pengukuran kondisi udara yang dipakai di seluruh dunia. Pengukuran yang didapat dengan menjumlah 6 jenis polutan utama, yaitu PM 10 (partikel udara mikroskpik berukuran 10 mikron), PM 2.5 (partikel udara mikroskopik berukuran 2,5 mikron), karbon monoksida (CO), asam belerang (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon.
Angka AQI dapat berubah-ubah setiap waktu tergantung dari kegiatan di daerah tersebut seperti keramaian lalu lintas, emisi industri, dan kegiatan lainnya. Penilaian AQI dibagi menjadi 6 kelompok atau kategori, baik (0-50), cukup baik (51-100), tidak aman bagi yang sensitif seperti memiliki gejala asma atau alergi (101-150), tidak sehat (151-200), sangat tidak sehat (201-300), dan berbahaya (301-500).
Polusi udara di Jakarta sebenarnya bukan masalah baru, namun belakangan ini menjadi perhatian masyarakat luas semenjak adanya gugatan oleh masyarakat yang diajukan oleh perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Greenpeace Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta.
Disertai bukti nyata dari beberapa stasiun pemantau udara yang dikelola oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dan BMKG, kelompok aktivis tersebut mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan membawa gugatan mengenai kualitas udara Jakarta yang semakin memburuk. Gugatan tersebut ditujukan kepada para pejabat provinsi DKI Jakarta, provinsi Jawa Barat, provinsi Banten, dan pemerintah Indonesia.
Selain membela hak-hak masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di kota Jakarta untuk dapat menghirup udara bersih, upaya tersebut juga bertujuan meningkatkan kesadaran atau awareness masyarakat terhadap bahaya polusi udara.
Masyarakat yang peduli dengan masalah polusi udara mulai menggunakan masker untuk beraktivitas di luar ruangan. Namun masker bukan solusi pencegahan yang efektif. Partikel PM 2,5 dan PM 10 masih dapat menembus masker karena ukuran yang sangat kecil sehingga tetap terhirup oleh hidung dan masuk ke dalam paru-paru.
Bagaimana dengan udara di dalam ruang? Di saat kita merasa aman karena sudah menutup pintu dan jendela untuk menghindari polutan dari memasuki ruangan, studi menunjukkan bahwa udara di dalam ruang mungkin 5 sampai 100 kali lebih kotor dari udara di luar. Hal ini disebabkan karena polutan dari luar masuk ke dalam ruang yang sudah tercemar dari kegiatan sehari-hari seperti memasak, wewangian insens, cat (tembok, rambut, kuku), obat pembersih rumah, obat pembunuh insek, dan lain-lain.
Untuk dapat mengatasi masalah polusi udara dalam ruang, diperlukan langkah seperti, membuat ventilasi, menyingkirkan barang yang tidak diperlukan, dan yang dapat jadi sarang pemicu alergi seperti karpet, tirai, dan lain-lain. Namun langkah yang paling efektif adalah dengan menggunakan pembersih udara di dalam ruang, untuk dapat terus-menerus membersihkan polutan.
Dari banyaknya pembersih udara, cara terbaik memilih adalah dengan melihat hasil kerja alat tersebut yang dapat dilihat dari stiker AHAM di box unit. AHAM memberikan penilaian kemampuan pembersih udara membersihkan debu, serbuk sari, asap rokok, dan saran ukuran ruang untuk alat tersebut. AHAM merupakan standar internasional yang dipakai untuk melihat kemampuan suatu pembersih udara.