Siapa yang tidak kenal dengan Vitamin A ? Ketika anak-anak ditanya vitamin A, mereka mungkin akan serentak menjawab vitamin untuk kesehatan mata. Betul. Ketika ditanya sumbernya dari mana, mereka juga akan seragam menjawab wortel. Juga betul.
Wanita sebagai pengguna kosmetik rutin tentu juga memiliki jawaban lain seputar vitamin A. Kebanyakan dari kaum hawa mengetahui bahwa vitamin A juga terdapat dalam dalam kosmetik yang berguna untuk mencerahkan wajah dan meminimalisir jerawat. Ini Betul. Lalu apa bedanya dengan vitamin A pada wortel ?
Vitamin A dalam ilmu kimia memiliki berbagai struktur kimia. Klasifikasi vitamin A setidaknya terdiri dari tiga golongan besar, asam retinoat, retinol dan retinaldehid. Vitamin A pada wortel merupakan golongan retinol yang muncul dari senyawa oranye beta karoten dalam wortel yang dicerna dalam system pencernaan manusia. Sedangkan pada kosmetik, jenis vitamin A yang digunakan adalah golongan retinoat yang lebih cocok jika diaplikasikan pada kosmetik untuk mendapatkan efek brightening. Adapun pada minyak goreng, terkandung vitamin A golongan retinol. Perbedaan rumus kimia inilah yang membuat perbedaan penggunaan vitamin A sesuai dengan penggolongannya.
Vitamin A yang tidak stabil
Vitamin A, khususnya golongan retinoat pada kosmetik, ternyata memiliki sifat yang tidak stabil. Berdasarkan jurnal ilmiah yang pernah saya baca, vitamin A tidak stabil terhadap cahaya. Hasil dari paparan cahaya terhadap vitamin A adalah menghasilkan zat-zat lain yang sebenarnya masih turunan (menyerupai) vitamin A. Turunan vitamin A memiliki rumus struktur yang mirip dengan vitamin A. Namun, beberapa turunan ini tidak memiliki efek serupa vitamin A sehingga mampu mengurangi aktivitas mencerahkan pada kulit. Selain itu, senyawa hasil sampingan vitamin A ini bersifat lebih iritatif (mudah mengiritasi) kulit dan bahkan bersifat karsinogenik atau pemicu tumor atau kanker sehingga memiliki potensi bahaya dalam penggunaan jangka sedang hingga panjang. Inilah yang membuat saya tertarik mengambil penelitian skripsi seputar vitamin A dalam bentuk asam retinoat (tretinoin) enam tahun lalu (tahun 2010) sebagai syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi dari Universitas Indonesia.Â
Besarnya Biaya Riset
Skripsi atas dasar hasil observasi, terutama riset ilmiah / penelitian tentu memiliki biaya yang jauh lebih besar dibandingkan skripsi yang dihasilkan hanya atas dasar survey, tinjauan pustaka, dan pengamatan. Selain itu, waktu yang digunakan untuk menyusun skripsi juga menjadi lebih lama. Inilah yang saya alami ketika hendak memulai penelitian. Biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk penelitiannya saja sudah di atas delapan juta rupiah. Belum ditambah dengan biaya cetak skripsi yang mencapai lima rangkap dengan sampul hardcover. Jumlah yang lumayan besar untuk ukuran mahasiswa atas biaya sendiri, bukan atas penelitian yang didukung proyek kampus atau swasta.
Pada penelitian tersebut, setidaknya saya harus membeli bahan baku pembanding murni vitamin A bersertifikat dengan harga yang jauh lebih mahal dari bahan baku vitamin A biasa. Sebagai informasi, untuk tujuan riset, tidak bisa menggunakan bahan baku biasa karena tidak memiliki spesifikasi yang dapat dijadikan sebagai pembanding atau standar. Penggunaan bahan baku biasa hanya akan memberikan data yang tidak valid dan memiliki tingkat akurasi (ketepatan) yang rendah. Tidak sampai disitu, oleh karena penelitian ini mencakup senyawa turunan vitamin A, maka saya pun juga harus membeli bahan baku pembanding murni turunan vitamin A tersebut. Ada dua bahan yang harus saya adakan agar penelitian ini menghasilkan data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan, yakni alitretinoin dan isotretinoin. Bahan-bahan ini rupanya belum ada di Indonesia karena merupakan suatu zat hasil sampingan dari vitamin A yang tidak stabil sehingga untuk memproduksi atau mensintesisnya lebih sulit dan butuh biaya yang tinggi. Total dana yang saya habiskan untuk membeli ketiga baku murni ini sebanyak 5,5 juta rupiah. Tentu ini adalah jumlah yang fantastis untuk penelitian skripsi mahasiswa.
Selain bahan baku pembanding, saya juga memerlukan reagensia khusus yang digunakan untuk melarutkan vitamin A dan turunannya. Merujuk pada pustaka Farmakope Indonesia edisi IV saat itu, vitamin ini tidak larut dalam air, sehingga perlu dicari pelarut yang mampu melarutkan seluruh zat tersebut. Dengan berbagai pertimbangan, saya memilih pelarut organik methanol dan asetonitril sebagai reagensia yang harus diadakan. Jumlah yang terpakai untuk penelitian ini mencapai 2,5 juta rupiah.
Mencari beasiswa Penelitian/riset
Tingginya biaya yang perlu dikeluarkan saat itu membuat saya harus memutar otak untuk meringankan biaya penelitian dalam rangka penyusunan skripsi dan sidang sarjana. Apalagi Pilihan judul ini sudah mantap mengingat saat itu belum ada penelitian serupa dalam mencari metode pemisahan vitamin A dengan turunannya di Indonesia. Saat itu, saya hanya bisa bermimpi agar penelitian ini bisa dicover oleh beasiswa.