Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan perairan terluas. Hingga kini negara kita memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Dengan garis pantai sepanjang itu, maka dapat digambarkan bahwa penduduk Indonesia yang bermukim di daerah pesisirsaat ini diperkirakan mencapai 140 juta jiwa atau sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan bermukim di daerah pesisir, bahkan di pesisir pantai utara Jawa, ada sekitar 600.000 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut di sekitar tempat tinggalnya. Sudah menjadi hal yang umum jika masyarakat di perkampungan nelayan dikenal sebagai masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah dan hidup dibawah garis kemiskinan. Sebagian masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya dari hasil laut padahal ada satu potensi di sekitar mereka yang bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan mereka dalam hal pangan. Potensi tersebut adalah hutan mangrove yang lebih dikenal sebagai hutan bakau.
Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada daerah pasang surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. (Kusmana, et al., 2003). Hutan mangrove merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Keunikan yang dimiliki ekosistem mangrove di Indonesia adalah memiliki keanekaragaman jenis yang tertingi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993.Sebagai contoh di Sulawesi Selatan mempunyai kawasan hutan mangrove seluas 97.900 ha, yang terdiri dari kawasan dengan fungsi lindung seluas 49.397 ha dan fungsi produksi seluas 48.503 ha yang tersebar di Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Wajo, Bone dan Sinjai. Selain kawasan tersebut di wilayah pesisir pantai lainnya juga terdapat areal mangrove (bukan kawasan hutan) seluas ± 45.000 ha. Dengan demikian Sulawesi Selatan memiliki areal mangrove seluas ± 132.900 ha. Kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan saat ini sudah sangat kritis dan dalam terminologi ekosistem, di wilayah ini sudah tidak dapat lagi dijumpai ekosistem mangrove kecuali di wilayah Sinjai, Pangkep, Bone. Dengan semakin menurunnya jumlah luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup tinggi. Adanya penurunan luasan hutan mangrove tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, pemukiman, pelabuhan, jalan, hotel dan apartemen, penebangan liar dan sebagainya. Masyarakat pesisir sebagai masyarakat yang berinteraksi langsung dengan ekosistem mangrove sangat dirugikan dengan semakin menurunya kawasan hutan mangrove. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat pesisir ikut dilibatkan dalam usaha rehabilitasi kawasan mangrove karena mereka adalah masyarakat yang paling dekat dan setiap saat berinteraksi dengan hutan mangrove. Salah satu manfaat dari ekosistem mangrove yang sekarang sudah tidak begitu populer adalah pemanfaatan hutan mangrove untuk kebutuhan pangan.
Masyarakat umum belum begitu mengenal akan potensi hutan mangrove sebagai penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat pesisir. Bagi masyarakat yang tinggal dan berinteraksi dengan hutan mangrove dalam kehidupan sehari-hari,sudah sangat paham akan manfaat mangrove sebagai sumber cadangan pangan. Masyarakat pesisir secara tradisional sudah sejak dulu telah memanfaatkan mangrove sebagai pengganti nasi. Ketika negara Indonesia mengalami krisis pangan pada tahun 1963 sampai 1965, masyarakat pesisir memanfaatkan mangrove sebagai bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa buah mangrove bisa dimakan dan tidak beracun karena secara logika buah ini sering dimakan oleh satwa yang hidup didalamnya misalnya kera, burung dan ular pohon. Sebagai contoh, masyarakat pesisir di Balikpapan sudah biasa memanfaatkan buah mangrove sebagai pengganti nasi. Caranya dengan merebus buah mangrove sampai empuk kemudian dimakan dengan parutan kelapa. Untuk menghilangkan rasa pahit, buah mangrove tersebut ditaburi dengan nira dari pohon kelapa atau nipah yang banyak terdapat di sekitar pantai. Hal senada juga dilakukan oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Biak. Bahkan masyarakat disana telah menganggap buah mangrove yang lebih dikenal dengan sebutan buah aibon yang artinya buah kayu sebagai komoditi agrobisnis andalan masa mendatang sehingga perlu dukungan kajian ilmiah untuk mendukung pengembangannya. Komoditi ini akan menjadi komoditi alternatif pengganti beras dan ubi yang akan digunakan jika sewaktu-waktu terjadi gagal panen. Komposisi buah aibon (mangrove) jika dibandingkan dengan singkong, ubi jalar, beras dan sagu, maka komposisi buah aibon lebih menyerupai singkong, dimana kandungan karbohidratnya hampir sama, yaitu 92 %. Hal tersebut didukung oleh potensi sebaran hutan mangrove yang jumlahnya di Papua mencapai 4.250.000 hektar. Buah aibon memiliki prospek sangat baik untuk dikembangkan menjadi bahan pangan alternatif pengganti beras, terutama bagi masyarakat di sekitar pesisir pantai, juga sebagai penyedia karbohidrat maupun sebagai bahan baku industri. Satu kendala yang dihadapi adalah jika dibandingkan dengan komoditi lain misalnya beras atau ubi, pengolahan buah mangrove cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Akibatnya masyarakat sudah jarang yang memanfaatkan untuk makanan.Masyarakat biak biasa mengolah buah mangrove dari jenis Bruguiera spdengan cara direbus dengan tujuan untuk memudahkan pengupasan. Setelah dikupas kemudian diiris dan direndam selama lebih dari 10 jam, setelah itu dikeringkan untuk pengawetan untuk dijadikan tepung sebagai bahan dasar membuat kue.
Dewasa ini penerapan teknologi dalam pembuatan makanan berbahan dasar buah mangrove sudah mulai dikembangkan. Bahkan ada yang membuat permen berbahan dasar buah mangrove. Hal tersebut dilakukan oleh ibu-ibu nelayan di Balikpapan yang terus berusaha memanfaatkan buah mangrove menjadi makanan yang lebih berguna dan bernilai ekonomi tinggi. Berbagai usaha dan cara dilakukan untuk membuat bauh mangrove menjadi lebih berguna. Meskipun tidak langsung berhasil tetapi akhirnya ibu-ibu tersebut berhasil memanfaatkan beberapa jenis mangrove menjadi beraneka macam makanan. Buah mangrove tidak bisa langsung diolah menjadi makanan. Langkah pertama untuk mengolahnya adalah mengupas kulit buah mengrove, kemudian buah di belah untuk menghilangkan bagian tanin yang mirip kapas kecil berwarna putih dan lengket. Bagian ini jika tidak dihilangkan dan terebus, maka seluruh buah mangrove akan berwarna biru keunguan dan tercium bau tembakau rokok sehingga tidak enak lagi dimakan. Sebelum direbus, buah mangrove harus terlebih dahulu direndam dalam air tawar selama tiga hari. Setiap hari saat pagi dan sore, air rendaman buah mengrove harus diganti untuk menghilangkan getah yang menempel. Setelah tiga hari direndam, buah mangrove siap digunakan untuk makanan apa saja. Jika mau dibuat keripik, tinggal ditambah bumbu berupa, garam, bawang merah dan bawang putih siap digoreng, jika mau dibuat dodol , cake maupun berbagai macam kue, buah mangrove yang sudah direbus harus dihaluskan lebih dulu menggunakan blender. Setelah halus barulah dicampur dengan bahan-bahan lainnya seperti tepung, gula, mentega, sesuai dengan selera. Jika ingin rasa buah mangrove lebih dominan, maka campuran buah mangrove yang sudah dihaluskan harus lebih banyak dari bahan lainnya. Beberapa jenis buah mangrove yang bisa diolah menjadi bahan pangan diantaranya adalah mangrove jenis Avicennia alba dan Avicennia marina atau yang lebih dikenal masyarakat dengan naman api-api lebih cocok untuk dibuat keripik karena ukurannya kecil seperti kacang kapri dan rasanya gurih serta renyah seperti emping melinjo. Adapun Rhizopora mucronata atau biasa disebut bakau perempuan yang tingggi buahnya sekitar 70 sentimeter serta Rhizopora apiculata (bakau laki) yang tingginya sekitar 40 sentimeter, lebih cocok dibuat sayur asam karena rasanya segar. Sonneratia alba yang biasa disebut pedada yang buahnya seperti granat nanas, lebih cocok untuk dibuat permen karena rasanya asam. Sedang Nypa frutican lebih cocok untuk dibuat kolak.
Masyarakat di kawasan Paluh Merbau, Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara juga berhasil memanfaatkan buah mangrove menjadi makanan yang bernilai tinggi. Hal tersebut merupakan salah cara yang dilakukan masyarakat untuk turut menjaga hutan mangrove agar tidak rusak. Salah satu jenis makanan yang berhasil dibuat dari hasil pengolahan buah mangrove adalah kue kelepon. Kue isi gula aren atau gula jawa berbentuk bulat-kenyal berbalut parutan kelapa yang bercita rasa manis dan gurih ini umumnya dibuat dari tepung sagu atau tepung tapioka. Namun melalui pengetahuan warga, kue kelepon bisa juga dibuat dari tepung buah mangrove. Selain kue kelepon masyarakat juga memanfaatkan buah mangrove menjadi dodol, sirup dan makanan lezat lainnya. Selain dibuat kue, buah mangrove jenis Avicennia alba dan Avicennia marina atau api-api juga dimanfaatkan menjadi sirup dan manisan dan buah nipah bisa dijadikan poding yang dicampur agar-agar. Penemuan pemanfaatan buah-buah mangrove menjadi aneka resep makanan dan minuman adalah hal yang sangat menggembirakan. Dengan sedikit kreasi dan inovasi, mangrove yang dulunya dikatakan sampah dan tak memiliki nilai ekonomis, kini dipandang sebagai tumbuhan yang memiliki nilai jual. Dengan adanya usaha-usaha seperti ini diharapkan masyarakat lebih tergerak untuk turut menjaga hutan mangrove dari kerusakan.
Pemanfaatan buah mangrove sebagai bahan makanan hanyalah sebagian kecil dari manfaat mangrove untuk masyarakat. Manfaat yang lebih penting adalah dampaknya terhadap kelestarian hutan mangrove itu sendiri. Usaha-usaha rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai macam programnya tidak akan berhasil tanpa melibatkan masyarakat pesisir secara langsung mulai perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan. Kelestarian hutan mangrove ini penting, karena akar mangrove yang menjalar ke mana-mana menjadi habitat berbagai jenis biota perairan pantai seperti ikan, udang, kepiting dan kerang. Rusaknya hutan mangrove akan menyebabkan hilangnya berbagai jenis biota pantai yang tentu akan mengganggu kesetimbangan lingkungan, paling tidak pendapatan nelayan berkurang. Pada sisi lain hutan mangrove juga berfungsi untuk menahan intrusi air laut yang terus merasuk ke daratan serta menahan abrasi di sepanjang pantai. Pengakaran mangrove yang kuat juga akan mampu menahan gelombang dan menetralisasi senyawa-senyawa yang mengandung racun. Ekosistem mangrove mempunyai manfaat yang sangat besar dalam menunjang kehidupan masyarakat pesisir Menjadi tugas bersama bagi kita untuk menjaga eksositem mangrove agar tidak rusak sehingga ekosistem mangrove bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H