Sejak kerajaan Hindhu-Buddha masih berkuasa, Gunung Mahameru dianggap sebagai gunung suci bagi umat Hindhu. Menurut Naskah Tantu Panggelaran, prosa yang menceritakan mitos-mitos penciptaan, Gunung Mahameru awalnya berada di India atau Jambudwipa. Karena Pulau Jawa yang selalu bergoyang, para dewa lantas menancapkan Puncak Mahameru dari India ke Pulau Jawa. Namun, saat dibawa ke sisi timur Pulau Jawa, Puncak Mahameru berceceran dan menciptakan beberapa gunung.
Salah satu di antara guguran Gunung Mahameru adalah Gunung Wilis. Gunung sakral yang termasuk pada jajaran gunung suci tersebut saat ini berada di antara enam kabupaten. Kesakralan inilah yang membuat Maharaja Hayam Wuruk, raja keempat Majapahit, menginginkan paramasoeklapoera atau pendharmaannya dibangun menghadap gunung ini. Permintaannya ini terealisasikan dengan dibangunnya sebuah candi di Lereng Wilis yang kemudian dikenal dengan nama Candi Ngetos.
Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, 17 km dari pusat Kabupaten Nganjuk. Candi ini dibangun menghadap ke barat dengan luas sekitar 100 meter persegi. Seperti candi khas Majapahit kebanyakan, seluruh bangunan Candi Ngetos terbuat dari batu bata merah yang ditaksir dibangung pada abad ke XIV. Secara keseluruhan, kondisi candi ini dapat dikatakan baik meski atapnya yang kemungkinan terbuat dari kayu dan beberapa bagian sudah tidak lengkap. Candi Ngetos juga pernah mengalami pemugaran atau restorasi di beberapa bagian pada tahun 1921.
Bagian candi yang terlihat paling mencolok adalah ornamen berbentuk Kala yang menghiasi setiap sisi atas badan candi. Namun, karena kondisinya yang mulai aus, hanya ornamen Kala di sisi selatan yang masih jelas ukirannya. Menurut beberapa sumber, dulunya di candi ini juga ditemukan arca Siwa, arca Wisnu, serta paidon dan baki yang terbuat dari kuningan. N. J. Krom, sejarawan Belanda, mengatakan bahwa arca Wisnu tersebut dibawa ke Kediri, sedangkan arca yang lain tidak diketahui lagi keberadaannya.
Candi Hindhu beraliran Siwa-Wisnu ini pertama kali diteliti oleh Sir Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Hindia Belanda, pada tahun 1817. Secara berkala, Candi Ngetos tercatat pada laporan Belanda dari tahun 1868 hingga 1917. Hoepermans, arkeolog asal Belanda, melaporkan bahwa saat itu ada dua candi kembar yang berbeda ukuran dan dinamai Candi Tajum. Sayangnya, candi dengan ukuran lebih kecil yang dapat diidentifikasi sebagai candi pengiring atau pewara kini sudah tak berbentuk lagi.Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Candi Ngetos dibangun atas permintaan Maharaja Hayam Wuruk, raja keempat Majapahit. Raja tersohor yang bergelar Sri Rajasanagara ini menginginkan Candi Ngetos dibangun untuk tempat penyimpanan abu kremasinya setelah ia meninggal nanti. Pembangunan candi ini kemudian diserahkan kepada paman beliau, Raden Condromowo, yang kemudian menjadi Raja Ngatas Angin.
Pembangunan candi ini tidak tertulis di sumber primer Kerajaan Majapahit seperti Kitab Negarakertagama. Kemungkinan, pada saat itu Mpu Prapanca tidak mengikuti Sri Rajasanagara dalam perjalanannya ke wilayah Ngetos. Bisa jadi pula, secara pribadi sang raja tidak ingin pembangunan candi pendharmaannya ini tercatat dilaksanakan pada saat ia masih hidup. Karena pada saat itu, hal demikian sangat tabu dan disebut 'nggege mongso' atau melawan kehendak Tuhan.
Kini, kawasan Candi Ngetos berada di tengah pemukiman penduduk. Di sebelah selatan candi terdapat madrasah diniyah dan sebelah barat candi terdapat masjid. Keberadaan tempat ibadah dan belajar bagi umat Islam di sekitar Candi Ngetos menunjukkan toleransi yang kuat dan kehidupan sosial yang harmonis antar umat beragama. Masing-masing memiliki kesakralan tersendiri meskipun berada dalam lingkungan yang sama.
Sampai saat ini, Candi Ngetos menjadi salah satu destinasi wisata sejarah di Kabupaten Nganjuk Bangunannya yang ikonik tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Selain itu bagi pecinta sejarah, keberadaan pendharmaan Raja Hayam Wuruk ini tentu menarik perhatian. Pendharmaan raja pemersatu Nusantara itu tentu harus dijaga, bukan?
(Informasi dirangkum dari berbagai sumber)
— Hiera Ditto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H