Sejarah mencatat pusat Kerajaan Mataram Kuno pernah dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Hal ini disebabkan oleh serangan dari sebuah Kerajaan Melayu ke Bhumi Mataram serta letusan Gunung Merapi yang meluluhlantakkan wilayah kerajaan dan beberapa alasan lain. Untuk menyelamatkan eksistensi kerajaannya, pemindahan pusat kekuasaan tersebut dilakukan oleh Mpu Sindok, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 928 M.
Mpu Sindok memindahkan ibu kota ke Tamwlang, sekarang daerah ini terletak di sekitar Jombang. Ia juga menghimpun kekuatan di Jawa Timur, tepatnya di daerah yang dulunya bernama Anjuk Ladang. Di sana, Mpu Sindok menarik atensi masyarakat setempat untuk membantunya dalam menghadapi Pasukan Melayu.
Perang yang tak dapat terelakkan pun terjadi. Pasukan aliansi yang telah dibentuk oleh Mpu Sindok bertarung dengan sekuat tenaga untuk melawan pasukan Melayu. Darah dan keringat bercucuran, namun semuanya setimpal ketika pasukan Mpu Sindok memperoleh kemenangan. Pasukan Melayu berhasil dipukul mundur. Kegemilangan yang diraih membuat Mpu Sindok mendirikan kerajaan baru bernama Medang Kamulan dan mengawali dinasti baru bernama Wangsa Isyana di Tamwlang.
Mpu Sindok tak tutup mata atas jasa dari masyarakat Anjuk Ladang. Sebagai bentuk rasa terima kasih atas bantuan yang telah diterimanya, Mpu Sindok memberikan simaswatantra pada masyarakat Anjuk Ladang. Selain itu sebuah jayastambha dibangun sebagai tugu peringatan kemenangan. Jayastambha tersebut kini lebih familier disebut Candi Lor.Candi Lor berdiri di atas tanah seluas 1.654 meter persegi di sebelah selatan Jalan Jenderal Soedirman, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Jika dilihat dari kejauhan, candi ini seperti tumpukan batu bata merah yang terbengkalai dan ditumbuhi sebuah pohon yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh bentuk candi yang sudah rusak parah dan terkikis. Oleh sebab itu, masyarakat sekitar banyak yang menyebut Candi Lor dengan nama Candi Bata.
Seperti candi Hindhu kebanyakan, Candi Lor menghadap ke barat. Sisi alas candi memiliki luas 142 meter persegi dengan tingi candi sekitar 9,3 meter. Satu keunikan dari candi ini yaitu terdapat pohon kepuh yang tumbuh menjulang dari bagian tengah candi. Akar pohon ini seakan membelit candi dan batangnya tumbuh mencondong ke arah selatan. Usia pohon kepuh itu sekitar 500 tahun, keberadaannya seakan menambah kesan dramatis pada candi yang wujudnya sudah tidak utuh lagi. Keberadaan pohon ini juga menjadi alasan kuat mengapa candi ini tidak mengalami restorasi.
Dulunya di area Candi ini juga ditemukan sebuah prasasti yang diberi nama Prasasti Anjuk Ladang. Prasasti ini terbuat dari batu andesit yang memiliki tinggi sekitar 2,1 meter dan lebar sekitar 1 meter dengan ketebalan 0,8 meter. Prasasti ini beraksara Jawa Kuno dengan beberapa bagian yang sudah tampak aus dan terbaca. Prasasti ini memuat penganugerahan tanah sima kepada tanah sawah kakatikan di Anjuk Ladang. Kini, prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional di Jakarta dengan nomor inventaris D.59. Masyarakat Nganjuk dan sekitar juga bisa melihat replika prasasti ini di Museum Anjuk Ladang. Replika prasasti ini ditempatkan di halaman depan museum di sebuah pendopo khusus.
(Informasi dirangkum dari berbagai sumber)
—Hiera Ditto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H