Desa Wates, terletak di Dukun Randu Parang, adalah tempat di mana tradisi asli masyarakatnya terus terjaga. Kehidupan sehari-hari mereka terkait erat dengan alam, seperti memberi makan dan memelihara hewan ternak. Amin, seorang penduduk asli Wadas, berbicara tentang pekerjaannya sebagai petani dan kebebasan yang dirasakannya dalam menjalani profesi ini. Namun, ketenangan mereka terganggu dengan kabar bahwa desa mereka akan menjadi area pertambangan. Kabar ini telah ada sejak 2016, dan sejak itu warga telah mengungkapkan penolakan terhadap rencana ini. Mereka khawatir akan kehilangan sumber air minum, mengalami longsor, dan bahkan kehilangan mata pencaharian mereka.
Proyek Bendungan Bener menjadi ilustrasi dari konflik ini. Meskipun proyek ini dianggap sebagai proyek strategis nasional untuk meningkatkan perekonomian dan pemerataan pembangunan, warga Wadas yang tanahnya akan digunakan untuk proyek ini merasa tidak mendapat manfaat yang sepadan. Pemerintah menjanjikan reklamasi bekas tambang sebagai tempat wisata, tetapi warga khawatir ini tidak akan menggantikan kehilangan mereka sebagai petani. Ancaman terhadap kesejahteraan dan kehidupan tradisional masyarakat Desa Wadas semakin nyata, baik dari proyek bendungan maupun aktivitas tambang yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan mata pencaharian mereka.
Selain itu, dampak sosial dan budaya yang mungkin timbul dari perubahan ini juga perlu dipertimbangkan, seperti pergeseran dari mata pencaharian petani tradisional ke pekerjaan baru yang mungkin tidak sesuai dengan gaya hidup mereka. Terlepas dari berbagai perdebatan, apa yang pasti adalah masyarakat Desa Wadas ingin mempertahankan cara hidup mereka yang telah diakar-akar dalam budaya dan tradisi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H