Sebagai seorang ulama, pendidik, cendekiawan muslim, aktivis dan organisatoris, semasa hidup Abah berpofesi sebagai seorang dosen PAI di Universitas Padjadjaran dan Universitas Sangga Buana YPKP. Abah juga pernah menjabat berbagai amanah organisasi diantaranya : Ketua Dewan Hakim MTQ Mahasiswa Nasional 2003 di Universitas Padjadjaran, Dewan Hakim MTQ Tingkat Kota Bandung Periode 1987 -- 2014, Ketua BAZNAS Kecematan Coblong Bandung, Ketua MUI Kelurahan Dago Bandung, Ketua Dewan Nadzir PPM Miftahul Khoir Bandung, Ketua DKM Al-'Urwatul Wutsqo Bandung, dan masih banyak jabatan lainnya.
Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2013
Kyai Yang Tidak Pilih-Pilih Dalam Mendidik
Saya mulai mengenal Abah sekitar tahun 2013 ketika saya masuk menjadi santri di Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir Dago Bandung. Setiap hari sabtu saat itu, santri-santri yang dipimpin oleh Kang Deding (Rois PPM Miftahul Khoir Periode 2013/2014) selalu berkunjung ke rumah Abah untuk belajar Al-Quran atau yang dikenal dengan talaqqi. Perjumpaan pertama saya dengan Abah saat itu, Abah sedang duduk di dekat lapang rumahnya, kemudian kami menyatakan maksud untuk belajar membaca Al-Quran. Tanpa keberatan, Abah pun mempersilahkan, padahal saat itu kami hanya berdua namun Abah tetap melayani kami tanpa memandang jumlah santrinya. Abah dalam mendidik santri-santrinya tidak memandang jumlah bahkan di beberapa kesempatan kadang saya seorang diri belajar kepada Abah.
Kesan pertama saya berjumpa dengan Abah, masya Allah nampak karakter wibawa kyai ada dalam diri Abah, lisannya selalu basah dengan bacaan Al-Quran dan dzikir. Nampak dalam wajahnya terpancar ketenangan, keteduhan dan kewibawaan bagi yang memandang, sehingga saya tidak berani untuk berlama-lama menatap wajah beliau.
Setiap kami talaqqi di rumah beliau, bukan hanya ilmu saja yang Abah berikan, lebih dari itu, Abah memberikan hidangan lahir dan batin kepada santri santrinya. Abah selalu menyediakan makanan dan minuman untuk kami sebagai santri-santrinya. Bahkan tidak segan-segan Abah menyuruh kami membawa pulang makanan yang masih ada di meja, tidak jarang Abah sendiri yang membungkusnya untuk kami.
Salah satu kenangan talaqqi dengan Abah, mungkin ini salah satu kenangan dari sekian banyak kenangan-kenangan indah bersama Abah, yaitu ketika saya sendiri ke rumah Abah untuk belajar, tanpa keberatan Abah mempersilahkan saya untuk masuk, meskipun saya hanya sendiri namun Abah tidak keberatan untuk melayani. Setelah setoran hafalan, Abah selalu mempersilahkan saya untuk memakan apa saja makanan yang ada di meja, bahkan tidak jarang jika di meja tidak ada makanan, Abah sendiri yang pergi ke luar untuk membeli makanan atau mewakilkan kepada yang lain, dan tentunya saya pun tidak berani menolak kebaikan Abah.
Setelah selesai setoran hafalan, Abah biasanya sering meminta pendapat kepada saya terhadap berbagai persoalan baik itu masalah keluarga, kuliah, pesantren, kehidupan hingga dunia Islam dan tentunya saya menganggap sebenarnya Abah sudah tahu jawabannya, tetapi saya menganggap Abah ingin mendidik saya untuk bermusyawarah dan berdiskusi dengan siapapun meskipun usianya lebih muda. Maka tidak heran, atas sikap Abah yang seperti itu saya memandang bahwa Abah itu seorang kyai yang sangat tawadhu.
Abah juga selalu bercerita tentang guru-gurunya saat itu bagaimana mendidik beliau, salah satunya dikisahkan ada seorang kyai sepuh yang selalu datang ke rumah beliau saat kecil yakni Kyai Muallim Qosim. Guru Abah ini dengan berjalan kaki disertai tongkat sebagai pengiring jalan, meskipun muridnya hanya Abah tetapi kyai tersebut istiqomah rutin mengajarkan Al-Quran ke rumah Abah.
Kebersamaan Dengan Abah Tahun 2014
Kyai Yang Tahu Kebutuhan Santrinya