Mendengar nama Surabaya bagi orang Bandung dan Jawa Barat tentunya bukan hal yang asing lagi, begitupun dengan saya sendiri. Hal tersebut apalagi kalau bukan karena hubungan persaudaraan antara suporter Persebaya yang dikenal dengan Bonek dengan suporter Persib Bandung yang dikenal Bobotoh.
Namun bagi saya Surabaya bukan hanya sekadar hubungan persaudaraan Bonek dan Bobotoh, lebih dari itu, Surabaya menyimpan sebuah misteri perjuangan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan, dengan Bung Tomo sebagai tokoh sentralnya. Apalagi kalau bukan pidato beliau yang sangat terkenal itu menjadi salah satu daya tarik sosok Bung Tomo.
Perjalanan menuju Surabaya saya awali dari Madura, tepatnya hari Ahad, 28 Oktober 2018, karena sehari sebelumnya saya telah mengikuti agenda 2nd International Conference on Islamic Studies di IAIN Madura. Sebelum keberangkatan, pagi hari pintu tempat saya menginap sudah ada yang mengetuk, beliau adalah salah seorang sopir rektor IAIN Madura yang akan mengantar saya beserta presenter lainnya untuk mengenal makanan khas Madura dan batik tentunya.
Begitu baiknya panitia seminar saat itu, kami disambut dan difasilitasi dengan baik. Di tengah perjalanan, saya berdiskusi dengan sopir tersebut, membahas berbagai persoalan yang ada di Madura, baik masalah pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan yang lainnya. Dari hasil diskusi tersebut, saya mendapatkan banyak pelajaran, terutama berkaitan dengan permasalahan hidup yang dialami masyarakat Madura.
Namun saya tidak larut dalam kesedihan yang ada, berbagai problematika yang melanda masyarakat Madura, termasuk beberapa daerah di Indonesia lainnya yang tak kunjung ada solusi menjadi bahan penyemangat bagi saya sendiri selaku generasi muda bangsa ini untuk bisa melakukan kontribusi yang berarti sekecil apapun, demi kebaikan umat dan bangsa, terutama negeri saya sendiri.
Setelah kami diajak berkeliling, dan dirasa keperluan kami sudah terpenuhi, kami segera di antar ke terminal bus, karena harus segera melanjutkan perjalanan pulang. Saya berangkat ke Surabaya dari terminal bus Pamekasan bersama Dr. Hindun selaku Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditemani suaminya, beliau orangnya sangat ramah, dan saya banyak belajar dari beliau akan semangatnya dalam mencari ilmu.
Tepat pukul 09.00 WIB bus berangkat dari terminal Pamekasan, dan pukul 12.30 WIB saya sudah sampai di Surabaya, tepatnya di daerah wisata religi Sunan Ampel. Karena memang, tujuan saya Surabaya salah satunya adalah dalam rangka ziarah kepada salah seorang Wali Songo, yakni Sunan Ampel. Di Masjid Sunan Ampel saya menyempatkan shalat dzuhur dan shalat ashar jamak takdim qashar, setelah itu saya baru berziarah kepada Sunan Ampel.
Nampak suasana komplek begitu ramai didatangi para peziarah, suasana makam pun begitu sakral bagi beberapa kalangan masyarakat. Tujuan saya berziarah ke Sunan Ample dalam rangka meneladani perjuangan Wali Songo dalam Mengislamkan Nusantara, karena setiap melakukan ziarah kepada para ulama, bukan hanya sebatas mendo'akan saja, tetapi lebih dari itu, melibatkan perasaan dan dalam rangka meneladani perjuangan mereka.
Sunan Ampel dilahirkan di negeri Champa (Sepanjang pantai Vietnam). Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa.
Negeri Champa diketahui berdiri pada tahun 192 Masehi. Sampai sekarang masih ada komunitas masyarakat Champa di Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Ayah Sunan Ampel merupakan Sunan Gresik yaitu keturunan Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra atau seorang Ahlussunnah bermazhab Syafi'i.
Syekh Jamalluddin merupakan ulama yang berasal dari Samarqand, Uzbekistan. Samarqand merupakan daerah dilahirkannya Ulama-Ulama besar. Salah satunya adalah Imam Bukhari yang dikenal sebagai pewaris hadis yang Shahih.