Sang Raja Pujangga Penyair  Baru Tengku Amir Hamzah putra melayu kelahiran Tanjung Pura pada 28 Februari 1911 sebagai putra Pangeran Muhammad Adil yang bergelar Tengku Bendahara Paduka Kerajaan Langkat dan ibunya bernama Tenggku Mahjiwa.  Amir Hamzah dikenal memiliki minat dalam kesusastraan sejak di sekolah dasar.Â
Hal ini dikatakan oleh Saidi Husny teman satu tingkat di atas Amir  sewaktu di Langkatsche School. Saidi yang merupakan Pensiunan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia dalam bukunya, Kenangan Masa : Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah yang terbit pada tahun 1969.Â
Saidi menulis dalam bukunya tersebut bahwa pada suatu hari ia inggin menggagu Amir. Dia sengaja mengendap-endap di belakang kawannya tersebut. Pada awalnya berniat iseng. Saidi malah terkesima membaca bait yang ditulis Amir temannya. Sangking terpesonanya oleh pantun itu, Saidi mengatakan masih ingat betul isinya sampai sekarang.
Mengail Kepulai Tuntung / Dapat Seekor udang galah / Kalau nasib tidak beruntung / Adapun dibuat jadi salah
Karya-karya sajak Amir menjadi pijakan dasar bagi penulisan sajak modern atau yang kita dengan dengan puisi. Karyanya merupakan mampu mempelopori sastra berbahasa Indonesia disaat teman-teman seanggkatannya masih terjebak dalam penulisan sastra dalam bahasa belanda maupun bahasa dearah namun Amir mampu menyajikan sajak-sajak dengan bahasa Indonesia yang mapan sehingga Dr. H.B Jasin mengelarinya Raja Penyair Pudjanga Baru, sementara itu Prof. Suatan Takdir AliSjabana memberinya gelar Penyair Antara Dua Zaman.
Kehidupan Amir hamzah yang kompleks, namun kebanyakan pengemar dan pemerhati sastra hanya mengenal Amir Hamzah dari satu sisi kehidupannya saja. Para peminat dan pemerhati sastra lebih mengenalnya sebagai penyair besar dengan dua buku kumpulan sajak aslinya saja yaitu: Buah Rindu dan Nyanyian Sunyi yang menghantarkan nama dan kedudukannya dalam sastra Indonesia Modern tidak akan pernah tergoyahkan apalagi terhapuskan; sehingga kebanyakan kita menganggap kehidupannya dihabiskan hanya untuk menulis syair saja.
Namun disisi lain bagi kaum pergerakan dan republiken pada masanya, terutama tokoh-tokoh yang berada di Solo dan Jakarta, mengenal Amir Hamzah sebagai seorang anak muda yang gigih mempersatukan organisasi pemuda yang bercorak kedaerahan yang waktu itu tumbuh subur, semisal Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Celebes dan lain-lain supaya masuk kedalam Indonesia Muda (Damiri Mahmud : Menafsir Kembali Amir Hamzah).Â
Dalam bukunya Damiri juga menyebutkan bahwa karena sangat aktifnya Amir dalam pergerakan sehinggga ia terpilih sebagai ketua delegasi  dalam Kongres Indonesia Muda yang pertama di Solo pada 29 Desember 1930 -  2 Januari 1931. Keaktifannya dalam pergerakan itu jualah yang membuat Belanda yang memiliki kerja sama atau kontrak kerja dengan Kesultanan Langkat menjadi gerah dan memberi peringatan Sultan Mahmud Raja Langkat pada waktu itu untuk memanggil pulang kemanakannya tersebut dan dinikahkan dengan putrinya. Peristiwa ini jualah yang menjadi latar terciptanya puisi Amir Hamzah yang diberinya judul Padamu Jua.Â
Amir yang merupakan keponakan sekaligus menantu Sultan Langkat dianggap berkhianat, Â meskipun pada waktu itu ia menjabat sebagai perwakilan Republik Indonesia di Sumatera Timur terkhusus Langkat. Ia terhimpit dalam dua kepentingan: Kemerdekaan sepenuhnya dan kewajiban mengadi kepada Kesultanan. Belum genap setahun ai mengemban jabatan tersebut.Â
Para Pemuda Sosialis dan anggota-anggota Laskar yang tak sabar dalam upaya mengusir Belanda sebagi upaya mewujudkan kemerdekaan yang sepenuhnya, mengangap Amir sebagai pengkhianat dan menjadi korban yang dalam peristiwa yang dicatat dalam sejarah bangsa Indonesia dengan sebutan Revolusi Sosial pada 20 Maret 1946 atau yang penulis nilai sebagai Tragedi Sosial.Â
29 tahun setelah tragedi tersebut  terjadi. Pemerintah Indonesia menganugrahi T. Amir Hamzah sebagai Pahlawan Nasional melalui surat keputusan Presiden Nomor 106 tanggal 3 November 1975 oleh Presiden Soeharto yang diterima langsung Tengku Tahura Alautiah purti semata wayang Amir Hamzah. Namun keputusan tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Langkat.