Mohon tunggu...
HIDAYAT SYAH AL HAKIM
HIDAYAT SYAH AL HAKIM Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis dan Youtuber

Menjadikan Lebih Baik di Masa yang Akan Datang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Pendidikan Indonesia Melalui Program IISMA

31 Agustus 2024   21:49 Diperbarui: 31 Agustus 2024   21:51 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abiyyu Aulia, Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Malikussaleh, pernah mengikuti program IISMA ke Hungaria/Dok. pri

Sejak diluncurkan pada 2020, program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM) oleh Kemendikbudristek telah memberikan dampak besar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Transformasi pendidikan yang berfokus pada konsep "merdeka" telah mendorong mahasiswa menjadi lebih proaktif dalam mengembangkan kualitas diri dan soft skill mereka. Program ini sendiri telah mengubah lanskap pendidikan nasional yang sebelumnya berorientasi secara didaktik-skolastika, menjadi lebih kontekstual. Pendidikan bukan sekedar proses formalitas belaka, tapi berpengetahuan secara praksis memperkaya khazanah ilmiah dengan pengalaman kultural di tempat-tempat baru.

Salah satu program yang diminati adalah Program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) atau pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Penulis sendiri berkesempatan untuk belajar di University of Szeged, Hungaria selama satu semester. Program IISMA sendiri diluncurkan pada 2021, atau satu tahun setelah MBKM dijalankan. Program ini merupakan langkah strategis mengampanyekan Indonesia dan memperluas jaringan internasional bagi mahasiswa Indonesia.

Mobilitas Pelajar Internasional sebagai Alat Diplomasi

Mobilitas pelajar internasional telah lama diakui sebagai alat diplomasi publik yang ampuh. Di masa kolonial, para mahasiswa Indonesia seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Soedjatmoko, dan Ali Sastroamidjojo yang kemudian mengembangkan aksi dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Salah satu "aksi literal ala Voltaire" dilakukan oleh Hatta melalui tulisan-tulisannya di majalah Indonesia Merdeka. Demikian pula para mahasiswa Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru yang kemudian menjadi pemimpin bangsa. Pengalaman belajar di luar negeri menjadi pemompa energi untuk melihat Indonesia secara lebih progresif.

Penulis sendiri mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Eropa (Hungaria), bukan hanya memperkaya pengetahuan akademis, tetapi juga memperluas wawasan budaya dan jaringan sosial internasional. Hungaria sendiri adalah sebuah negara di Eropa Tengah yang dipenuhi sejarah yang bergerak dinamis. Negeri pernah menjadi kekuatan menengah di Eropa pada abad 11 melalui kerajaan Kristennya. Kemudian pada abad 16 sebagian wilayahnya dikuasai oleh kerajaan Ottoman, sehingga memberikan endapan Islam pada sebagian infrastruktur. Pada awal abad ke-20 Hunagria kuno terpecah menjadi wilayah multinasional (Austria-Hungaria, Serbia, Kroasia, Ukraina, dan Rumania). Sebagian peradaban Eropa klasik, arsitekturnya juga mengagumkan dan menunjukkan kebesaran feodalisme-nya pada masa lalu. Sungai Danube yang membelah Budapest, ibukota Hungaria menjadi wadah diorama yang melintasi sejarah kompleks negara ini.

Ketika belajar di Hungaria, penulis merasakan transisi dari budaya negara ini, yaitu sebuah masyarakat yang dibahasakan oleh sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1986) sedang menuju perubahan dengan keterputusan sejarah yang dimilikinya. Antara kegemilangan masa lalu dan kemandekan modernitas yang dialaminya di saat ini, menjadi energi untuk melampaui sejarah yang ada.

Sebagai negara Eropa, Hungaria modern tertinggal dibandingkan Jerman, Austria, Swiss, atau Perancis. Namun masyarakat Hungaria sendiri tidak ingin menjadi prototipe dari negara-negara yang terkenal itu. Ia ingin menjadi dirinya dengan karakter khas yang membentuk masyarakat dan kebudayaannya di masa lalu. Artinya, peran pascakolonial juga dilakukan oleh pemimpin dan juga masyarakatnya untuk tidak jadi peniru. Salah satu yang terkenal ketika presiden dan masyarakat Hungaria tidak terpapar oleh teror global Covid-19 yang melanda sejak tahun 2020 di seluruh dunia.

Nilai-nilai inilah yang penulis dapatkan dari Hungaria untuk diamplifikasi di Indonesia, termasuk Aceh. Aceh yang tertinggal, tidak perlu rendah diri, tapi bisa melihat keunggulan kompetitifnya pada sisi lain. Istilah Bourdieu disebut kemampuan melakukan inkorporasi, objektifikasi, dan institusionalisasi dari proses belajar.

Pengalaman itu yang coba penulis ambil dan terapkan di Unimal. Sebagai kampus dengan sejarah tidak sementereng kampus-kampus di Jawa atau di Sumatera, Unimal tetap bisa mencari nilai keunggulannya, dan dijadikan sebagai modal sosial dalam membangun kepercayaan diri berjejaring, bukan saja di tingkat regional, tapi juga nasional, dan internasional.

Pengembangan Kebudayaan

Melalui program IISMA, mahasiswa yang belajar di luar negeri dapat meningkatkan energi dalam penguatan budaya lokal dan nasional. Penguatan budaya ini sebagai modal utama dalam mempromosikan keunikan Indonesia, sehingga semua orang akan tergelitik untuk melihat Indonesia secara lebih dekat, baik untuk kepentingan kultural dan juga ilmiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun