Mohon tunggu...
Hidayat Harsudi
Hidayat Harsudi Mohon Tunggu... Akuntan - The Accountant

Tinggal di Kota Makassar - Auditor, Pemain Musik, dan Penikmat Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hargai Sebuah Kejujuran dan Hukum Semua Kecurangan

22 Desember 2017   10:32 Diperbarui: 22 Desember 2017   10:37 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Odissey

Di dunia yang penuh dengan kebohongan, telinga tak lagi berguna. Mata tak lagi melihat dan kaki tak tahu harus melangkah kemana. Itulah gambaran dunia saat orang-orang sudah merasa berbohong adalah hal lumrah dan kejujuran tidak lagi dihargai.

Di media sosial bertebaran berita-berita hoax. Namun, berita hoax memiliki kelemahan yakni mudah dideteksi. Berita hoax terlalu indah untuk jadi kenyataan dan terlalu buruk untuk jadi realita. Tetapi berbeda dengan berita sepotong. Berita sepotong mengemukakan data yang hanya menguntungkan bagi satu pihak atau cuma menyajikan data yang merugikan pihak lain. Berita sepotong memberikan info yang tidak berimbang seakan tidak ada lagi hal baik atau tidak ada lagi yang kurang.

Di tulisan ini, penulis tidak ingin membahas berita hoax ataupun berita sepotong. Tapi lebih mengerucutkan pada perilaku berbohong yang dibiasakan dan kejujuran yang tidak dihargai.

Saat penulis masih tinggal dengan orang tua, sering penulis meminta uang untuk sekedar jajan. Saat meminta uang jajan yang biasanya tidak terlalu banyak, penulis biasanya akan diarahkan untuk mengambil di dompet. "Ambil saja di dompet mama". Mama penulis menaruh kepercayaan besar untuk mengambil uang sendiri. Begitu pula saat ada kembalian uang setelah jajan. Saat melapor ada kembalian biasanya langsung dikasi kembaliannya. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada mama yang telah menaruh kepercayaan dan sangat menghargai kejujuran.

Berperilaku jujur sangat mudah dilakukan karena otak tidak terlalu terbebani untuk berpikir. Saat berbohong otak akan berpikir lebih keras agar perkataan yang dikeluarkan mampu dipercaya oleh orang lain.  Rasa cemas kebohongan diketahui orang lain juga membebani kerja otak. Namun, berbohong sangat lumrah di masyarakat kita. Hal ini dimulai dari kejujuran yang tidak dihargai dan kebohongan yang tidak mendapatkan sanksi.

Ujian merupakan salah satu contoh kegiatan dimana kejujuran kurang dihargai. Berapa banyak tenaga pendidik yang menghukum siswa yang bertindak curang saat ujian dan memberi penghargaan bagi siswa yang jujur?. Mungkin jumlahnya tidak terlalu banyak. 

Waktu penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ada suatu kejadian yang membuat penulis ingin melempar pengawas ujian yang merupakan tenaga pendidik dengan pulpen. Saat itu penulis mengikuti sebuah lomba matematika tingkat kecamatan. Tiga orang siswa yang duduk di bangku paling depan saling berbagi jawaban dan tidak mendapat teguran sama sekali. Karena kesal, penulis menghentakkan sepatu di lantai bahkan memukul-mukul meja agar pengawas sadar ada yang tidak beres. Tapi pengawas tetap tidak memedulikan dan belakangan penulis tahu ketiga orang yang berbagi jawaban merupakan juara 1,2 dan 3 lomba tersebut.

Cerita di atas menggambarkan bagaimana perilaku tidak jujur tidak mendapatkan hukuman dan perilaku jujur tidak dihargai. Perilaku kurang jujur dari ketiga siswa di atas justru dihargai dengan sebuah prestasi. Pertanyaannya adalah apakah ketiga siswa tadi masih melakukan perbuatan buruk itu sampai sekarang akibat kebohongan yang dihargai dengan prestasi waktu itu?. Apakah pengawas ujian waktu itu masih melakukan hal yang sama sampai sekarang hingga banyak siswa yang moralnya dirusak?.

Cerita selanjutnya adalah saat penulis akan menghadapi Ujian Nasional sewaktu di Sekolah Dasar. "Beri temanmu contekan saat UN nanti" kalimat singkat yang keluar dari mulut seorang guru saat itu. Kalimat tersebut didengar oleh seluruh teman kelas waktu itu. Kalimat itu sangat membebani penulis karena harus berbuat curang saat ujian. Tidak hanya harus menguasai materi yang akan diujiankan, penulis harus pula tahu cara mengumpan jawaban dari teman ke teman agar tidak ketahuan. Kalimat itu membuat teman-teman penulis menaruh kepercayaan besar untuk membagikan jawaban saat ujian. 

Saat ujian pengawas sangat tidak memedulikan siswa yang saling menyontek. Penulis bisa membagikan jawaban kepada teman-teman yang lain agar mereka lulus pula. Bahkan teman penulis bisa keliling ruangan ujian saat itu.  Akhirnya semua teman penulis lulus waktu itu dan guru tadi juga senang.

Hal seperti cerita di atas berulang-ulang terjadi. Sampai penulis malas belajar dan prestasi menurun waktu SMP. Tak ingin memberikan informasi sepotong, penulis akui biasa pula menyontek saat ujian. Sekarang penulis sudah mahasiswa dan merupakan golongan mahasiswa yang tidak percaya dengan IPK. Perilaku jujur yang kurang dihargai dan perilaku berbohong yang tidak mendapat hukuman membuat kebiasaan pelajar kita terus terpelihara. Kekhawatiran penulis, kebiasaan ini akan berubah menjadi budaya dan menjadi warisan budaya indonesia yang diakui UNESCO.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun