Mohon tunggu...
Rahmat Hidayat
Rahmat Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Anak Pulau

Berjalan di batas samudera

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kampung yang Dulu

16 April 2022   11:46 Diperbarui: 16 April 2022   11:49 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mudik Lebaran tahun ini menjadi lebih istimewa bagi perantau. Terutama terasa istimewanya bagi perantau yang sudah beberapa tahun tidak pulang kampung. Hal ini  disebabkan larangan mudik tahun lalu. Dampak  dari Pandemi Covid 19.

Seribu alasan kita untuk kenapa berlebaran di kampung? Ya,  salah satunya karena  terbayang - bayang nya suasana penuh suka cita dipelupuk mata pada hari  nan fitri.

Pada kesempatan ini saya mengajak kita bernostalgia membayangkan masa sekitar 30 (Tiga Puluh) Tahun lalu atau lebih, saat lebaran di kampung. Duuh indahnya. Indah yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Semua terbayang. Lebaran hari yang sangat di tunggu tunggu. Anak-anak tidak sabar memakai baju baru di hari raya. Mereka  juga tidak sabar menunggu waktu pergi menambang membawa sapu tangan menanti Tunjangan Hari raya (THR ) dari Mamak, Mintuo, dan karib Kerabat lainnya.

Perantau rela memecah tabungan. Menyandang tas besar, berdesakan di terminal Bus. Tidak jarang yang mau naik bangku cadangan menempuh perjalanan jauh demi dapat berlebaran di kampung.  Sering kita mendengar Perjalanan pulang kampung diwarnai kemalangan, ada perantau yang kehilangan dompet diterminal atau disebabkan tertidur diatas bus waktu itu.

Saling merindukan. Perantau merindukan kampung halaman untuk bersua Orang Tua, sanak keluarga, kawan sepermainan sehilir semudik. Mungkin juga pujaan hati.  Begitu juga sebaliknya kita yang dikampung merindukan orang rantau untuk pulang bersama sama berhari raya dikampuang.  Dulu sering saya membaca spanduk,  baik di Mesjid, Persimpangan Jalan, tempat umum lainnya bertuliskan " Selamat Datang Perantau di Kampung Halaman." sebuah ungkapan penuh kehangatan warga kampung menyambut kedatangan perantau. Sungguh menyejukkan!

Suasana suka cita lainnya misalnya saat shalat hari Raya idl Fitri, Jamah Mesjid melimpah ruah, bahkan karna ramai shalat hari raya dilaksanakan di lapangan atau halaman Mesjid. Ketiding penuh dengan infaq dan wakaf. Pengurus mesjid  bersemangat mengajak Jamaah utk berinfak berwaqaf. Terdengar sahut menyahut, dari perantau A sekian, perantau B juga tidak mau ketinggalan untuk berlomba lomba dalam kebaikan.

Silaturrahmi terasa hangat dan kental sekali. Saling bersalaman bermafaan. Anak yang sudah berumah tangga membawa anak dan istrinya  pergi "Manjalang Mintuo" menemui orang tua untuk bermaafaan. Kemenakan mengunjungi mamaknya.  Semua pintu rumah terbuka untuk saling memaafkan. Saling mengunjungi antara rumah yang satu dengan yang lain.

Pemuda dikampuang bersemangat sekali menyambut lebaran.  Untuk mencari dana di acara lebaran ada ada saja ide yang muncul. Misalnya, saya dulu sering melihat pemuda dikampuang  bergotong royong menyabit padi milik warga yang upahnya digunakan untuk acara lebaran.  Bagi yang berhalangan, misalnya siang nya turun ke laut, namun tetap berpartisipasi menyumbang rokok atau apa saja yang bisa disumbangkan.

Hiburan rakyat menjadi tontonan yang ditunggu-tunggu. Semua aktif terlibat mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.  Pemuda bergotong royong mendirikan pentas hiburan. Setiap  kampung panitia hari besar Islam ( PHBI) berlomba lomba membuat kegiatan dikampungnya. Misalnya mengadakan pertunjukan drama, penampilan bakat anak anak dan remaja, Permainan pacu karung, lomba makan kerupuk, lomba memasukan paku dalam botol, main bola pakai kain sarung, dan banyak lagi. Pokoknya meriah. Itu dulu.

Berkampung adalah soal rasa. Rasa cinta terhadap kampung halaman. Rasa ini yang tidak pernah didapatkan di tempat lain. Kita yang pernah lahir, tumbuh berkembang dikampung telah terwariskan oleh nilai nilai agama dan adat istiadat.  Nilai-nilai ini  didapat dari 2 (Dua) Institusi yaitu Surau dan Lapau.  Dua institusi inilah yang akan membekali isi dada dan kepala untuk dibawa anak lelaki pergi merantau. Dikampung ada nilai nilai kekeluargaan, kegotongroyongan. "Saciok bak ayam sadanciang bak basi". Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Beradat dan berlembaga. Nasionalisme itu dimulai dari kampung. Bagaimana mungkin seseorang menjadi Nasionalis kalau seseorang itu tidak mencintai kampung halamannya sendiri. Mencintai tanah air adalah sebagian dari Iman. Dalam pepatah Arab dikatakan, "Barang siapa yang tidak memiliki Tanah air, ia tidak memiliki sejarah. Dan, barang siapa  yang tidak memiliki sejarah , akan terlupakan." Siapa bilang kita orang Indonesia ini sebagian besar bukan orang kampung? Buktinya saat lebaran tiba. Kota kota menjadi sepi karena ditinggal  mudik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun