Undangan pak Bedjo kemarin menyisakan tanda tanya besar dalam benak dan pikiranku. Tidak seperti biasanya pak Bedjo mengundang dengan bahasa seperti ini. Saya merasakan suatu keraguan dari kalimat yang tertulis dalam poin acara yang diisi dengan permohonan doa selamat bagi seluruh keluarga. Dari pada penasaran, aku pun berniat hadir untuk menghormati tuan rumah yang telah mengundangnya. Jam dindingku menunjukkan angka 15.15. Meski di dalam undangan tertera 15.30, rasa penasaran membuatku harus berangkat lebih awal untuk mencari info dari tuan rumah.
“Assalaamua’alaikum Pak Bedjo”, salam saya untuk beliau sambil menyodorkan tangan dan tanpa diduga beliau merangkul bahu saya sambil menangis. “Maafkan saya ya pak, dan doakan saya dan keluarga agar selamat.” Pinta pak Bedjo dengan sangat memelas . Di tengah keharuan yang menyelimuti perasaan pak Bedjo, saya tetap tidak mengerti apa makna permohonan doa yang diinginkannya sambil nangis tadi. Saya hanya bilang “Yang sabar ya pak, semoga semua akan baik-baik saja. Tanggapan saya yang terkesan normatif ini karena memang tidak mengerti duduk persoalannya. Pak Bedjo mungkin menganggap semua yang hadir, termasuk saya, dianggap sudah tahu apa yang sedang terjadi pada keluarganya.
Jarum jam tepat menunjuk angka 15.30. Begitu pembawa acara menyebutkan poin-poin sambutan tuan rumah, pak Bedjo langsung menerima mikrofon yang diberikan oleh seorang operator sound system. Dengan kata-kata terbata, Pak Bedjo membuka sambutan dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Allah Swt. Begitu masuk ke bagian inti sambutan, beliau terdiam sejenak disertai dengan mata berkaca-kaca. Berat rasanya mengucapkan kata-kata yang sudah dikonsep sebelumnya. Akhirnya dengan segenap keberanian, Pak Bedjo dengan lantang mengatakan: “Mohon maaf saya ralat apa yang disampaikan pembawa acara, acara ini bukan walimahan. Tidak ada walimahan. Ini hanya doa mohon keselamatan untuk diri saya, keluarga dan khususnya anak-anak saya.” Demikian pernyataan tegas namun penuh haru disertai rasa malu dan juga beban berat sebagai orang tua dan tokoh masyarakat.
Semua hadirin mulai tercengang dan kaget termasuk saya. Buru-buru saya berbisik kepada seorang undangan yang tepat berada di sebelah kanan dengan penasaran, “ Maaf mas, sebenarnya ada apa sih Mas?” Sambil menatap penuh arti, dia ganti berbisik ke saya,”Maaf ya pak, kata para tetangga anaknya pak Bedjo yang bungsu baru saja melahirkan!”
“ Melahirkan?” tanyaku penuh keheranan setengah tidak percaya. “Kapan menikahnya? Apa saya yang tidak diundang ya?” tanya saya makin penasaran. “ Iya pak nda ada undangan karena memang tidak ada pernikahan. Ya anak muda sekarang, MBA (Married by Accident) dah biasa, yang penting orangnya bertanggung jawab saja” jelas tetangga pak Bedjo dengan santainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H