Oleh: Rahmat Hidayat Nasution
Di tengah ramainya permintaan publik agar pemerintah tak mudah mengasihani koruptor dengan memberikan grasi dan remisi, Partai Demokrat malah hadir membela Aulia Pohan yang mendapatkan grasi dengan status bebas bersyarat. Pembelaan yang diusung juga tak tanggung-tanggung. Langsung dengan manyatakan bahwa Aulia Pohan bukanlah koruptor.Pembelaan ini tentunya layak menimbulkan aneka penafsiran. Apalagi yang memberikan pembelaan adalah para petinggi partai Demokrat, seperti Marzuki Ali dan Ruhut Sitompul.
Keberanian mereka berdua, bisa dikatakan, mewakili suara PD untuk memiliki perbedaan pandangan dengan arus yang diusung oleh publik. Kejadian seperti ini bukan yang pertama kali. Belum genap tiga minggu, Ruhut Sitompul dengan lantang melontarkan pernyataan agar undang-undang mengenai masa jabatan presiden diamandemen menjadi tiga priode. Alasan-alasan yang diungkapkannya cukup sulit diterima dengan sempurna oleh akal sehat. Bahkan, dengan nada asal bicaranya tersebut cenderung membuat publik gerah.
Kegerahan publik tak cukup sampai di situ saja, kini dengan sengaja dibuat makin gerah lagi. Meski hadir dengan masalah yang berbeda. Yaitu, keinginan untuk membersihkan nama Aulia Pohan dari daftar koruptor. Alasan yang digunakan berdasarkan putusan hukuman yang diterima Aulia Pohan yang dinilai tidak memperkaya diri atau mencuri uang negara. Seperti kata Marzuki Ali, kesalahan Aulia Pohan hanyalah dari sisi Administrasi. Hanya salah dalam menentukan kebijakan. Padahal sudah cukup jelas Ketua Majelis Hakim, Krisna Menon, saat membacakan vonis bahwa Aulia Pohan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Bagi penulis, motif pembelaan yang dilakukan kedua petinggi Partai Demokrat tersebut sebenarnya bukan sekedar untuk membersihkan nama Aulia Pohan. Penulis melihatnya ada sisi lain yang ingin dicapai. Pertama, Adanya keinginan untuk menguji reaksi rakyat. Apakah rakyat masih serius memperhatikan masalah korupsi atau malah sudah cuek, sehingga akan diam-diam saja ketika Aulia Pohan dikatakan bukan koruptor? Artinya, ada niat ingin menakar sejauh mana ketidakpedulian publik terhadap kebijakan pemerintah. Jika benar demikian, dengan serta merta mereka akan berpandangan bahwa publik sudah tidak acuh lagi dengan arus politik di negeri ini. Kalau sudah begitu, publik tak akan menimbulkan reaksi masalah pemerintah mau beri grasi dan remisi kepada siapa saja. Mau terlibat korupsi atau tidak. Sehingga alur politik di negeri ini bisa berubah menjadi sinetron atau dagelan. Perhatikanlah, wacana yang diusung kedua pentolan politisi Partai Demokrat tersebut ibarat sedang mentas di degelan ‘Opera Van Java’. Kebebasan untuk bersuara sesuka hati di atas pentas. Apakah menimbulkan reaksi atau tidak, itu urusan nomor tiga puluh satu.
Kedua, Adanya keinginan untuk menaikkan pamor pemeran utama, meski harus melangkahi instruksi yang disampaikan Ketua Umum PD. Di kediaman Dewan Pembina PD, Puri Cikeas, pada acara buka puasa bersama Minggu (23/8) lalu, Anas Urbaningrum dalam kata sambutannya meminta agar Kader PD benar-benar berpuasa, dari hal yang tidak penting, untuk menjaga kehormatan partai. Di antaranya, untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa disalahpahami. Belum genap 1 x 24 jam, instruksi yang disampaikan Ketua Umum tak diindahkan oleh kader PD. Pernyataan Marzuki Ali dan Ruhut Sitompul bukti nyatanya.
Keinginan yang diharapkan mereka berdua tak pelak lagi agar publik bisa menerima pemberian remisi dan grasi terhadap para koruptor, termasuk pada Aulia Pohan. Dengan posisi yang diemban saat ini di parlemen, mereka berharap bisa mendongkrak dukungan agar tidak menyalahkan kebijakan yang dilakukan pemerintahan SBY. Tanpa pernah mempedulikan lagi mau melangkahi atau tidak terhadap apa yang dimohonkan Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum. Ataukah, bisa jadi, mereka berdua salah memahami pernyataan SBY yang disampaikan dalam acara yang sama, bahwa agar semua kader PD menjadi pribadi yang sabar dan tetap tenang. Meski sering menerima serangan atau kritikan dari pihak lain?
Selain itu, dengan wacana yang dilontarkan kedua petinggi PD tersebut ada harapan agar Presiden mendapatkan dua point. Point pertama, agar SBY dan para menterinya mempunyai kesempatan untuk menjelaskan alasan demi alasan kenapa diambil kebijakan yang dinilai memanjakan koruptor. Tentunya, ini berpeluang sebagai langkah mendapatkan point pencitraan pemerintahan SBY. Point kedua, untuk menjelaskan kepada publik bahwa besan Presiden bukanlah koruptor. Kesalahannya hanya dalam mengeluarkan kebijakan, bukan mengeruk uang negara. Semua ini, tak ubahnya seperti kasus Century. Meski Boediono dan Sri Mulyani dinilai bersalah oleh pansus DPR, tapi bagi PD dinilai tidak bersalah.
Karena itu, cukup ironi arus politik di negeri ini. Dengan begitu mudah sebagian politisi parpol, saat memangku amanah yang diembannya di parlemen, mengeluarkan opini semaunya dan mendukung kebijakan pemerintah yang cenderung melukai nurani rakyat. Padahal, rakyat memilihnya dengan satu tujuan. Yaitu, untuk menyambungkan suara rakyat, bukan suara presiden.
Penulis adalah Mahasiswa PPS UNIMED SUMUT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H