Menjadi seorang honorer alias tenaga wiyata bhakti, kontrak atau outsorching di Instansi Pemerintah bukanlah pilihan utama tiap orang. Tapi dengan berharap mereka bisa menjadi PNS, banyak orang yang bersusah payah untuk menjadi honorer. Ketika sesorang masuk menjadi honorer, mereka sangat berharap dapat diterima menjadi PNS sehinga mereka rela dibayar dengan upah yang sangat tak layak untuk hidup. Bayangkan saja sekarang, masih banyak tenaga honorer di daerah yang hanya dibayar 200rb - 300rb/ bulan dengan kerja dari pukul 07.00 - 14.00 layaknya seorang PNS. Terkadang tugas mereka lebih berat dari PNS, akibat PNS yang menyerahkan tugasnya pada honorer tersebut, seakan-akan mereka tenaga perahan yang hanya dimanfaatkan tenaganya saja tanpa memikirkan mereka manusia yang butuh biaya untuk kehidupannya. Dengan istilah "pengabdian" pada negara mereka dininabobokan dengan perjanjian saat mereka mulai bekerja di instansi pemerintah, tertulis dalam perjanjian kerja tidak akan menuntut gaji dan PNS. Lagi-lagi dengan harapan dapat menjadi PNS, membuat mereka honorer menerima upah yang tak layak. Yang terkadang membuat lebih parah lagi, ketika mereka dapat bantuan kesra dari pusat, ada oknum PNS yang tega memotong uang mereka. Apalagi juga dijumpai honorer yang menerima gaji tidak sesuai apa yang mereka tanda tangani, yakni mereka tanda tangan Rp. 500.000, - tapi hanya diberikan padanya Rp 300.000,- padahal yang memotong gaji mereka oknum PNS yang sudah mempunyai gaji yang layak . Lalu siapakah yang bersalah atas kejadian yang tidak manusiawi ini ? Pemerintah ? Honorer? Pejabat yang Mengangkat? Jawabnya adalah ketiga-tiganya. Karena hal ini tidak akan terjadi jika pemerintah tegas dari sejak ada perekrutan honorer yang semi ilegal tanpa aturan jelas cenderung dibiarkan. Pejabat mengangkat honorer untuk menutupi kebutuhan tenaga kerja, tetapi terkadang ada oknum pejabat mengangkat honorer karena anaknya, saudaranya atau karena kedekatan yang lainnya, bahkan ada oknum pejabat yang mengangkat honorer karena suap. Honorer sendiri juga dipersalahkan, karena ada oknum honorer yang menyuap atau memanfaatkan kedekatan untuk menjadi honorer. Lalu bagaimanakah solusinya? 1. Pemerintah harus membuat aturan yang jelas dan tegas tentang tenaga honorer, dari perekrutan, gaji dan lain-lain, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. 2. Pejabat yang mengangkat honorer tidak sesuai dengan aturan PP atau aturan lain yang berlaku harus diberi sangsi yang nyata. 3. Honorer yang telah ada diselesaikan secara manusia, dengan memberikan gaji mereka yang layak bukan hanya dipasrahkan kepada daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H