Mohon tunggu...
Fdn Sitoy Ibin
Fdn Sitoy Ibin Mohon Tunggu... profesional -

merasa bodoh lebih baik dari pada merasa pintar, yang penting jangan masa bodoh ! selalu yakin jika orang lain bisa melakukan baik, mengapa kita tidak bisa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Honorer Menjadi Dilema Buat Pemerintah

5 Februari 2014   18:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391598887333318864

Menjadi seorang honorer alias tenaga wiyata bhakti, kontrak atau outsorching di Instansi Pemerintah bukanlah pilihan utama tiap orang. Tapi dengan berharap mereka bisa menjadi PNS, banyak orang yang bersusah payah untuk menjadi honorer. Ketika sesorang masuk menjadi honorer, mereka sangat berharap dapat diterima menjadi PNS sehinga mereka rela dibayar dengan upah yang sangat tak layak untuk hidup. Bayangkan saja sekarang, masih banyak tenaga honorer di daerah yang hanya dibayar 200rb - 300rb/ bulan dengan kerja dari pukul 07.00 - 14.00 layaknya seorang PNS. Terkadang tugas mereka lebih berat dari PNS, akibat PNS yang menyerahkan tugasnya pada honorer tersebut, seakan-akan mereka tenaga perahan yang hanya dimanfaatkan tenaganya saja tanpa memikirkan mereka manusia yang butuh biaya untuk kehidupannya. Dengan istilah "pengabdian" pada negara mereka dininabobokan dengan perjanjian saat mereka mulai bekerja di instansi pemerintah, tertulis dalam perjanjian kerja tidak akan menuntut gaji dan PNS. Lagi-lagi dengan harapan dapat menjadi PNS, membuat mereka honorer menerima upah yang tak layak.  Yang terkadang membuat lebih parah lagi, ketika mereka dapat bantuan kesra dari pusat, ada oknum PNS yang tega memotong uang mereka. Apalagi juga dijumpai honorer yang menerima gaji tidak sesuai apa yang mereka tanda tangani, yakni mereka tanda tangan Rp. 500.000, - tapi hanya diberikan padanya Rp 300.000,- padahal yang memotong gaji mereka oknum PNS yang sudah mempunyai gaji yang layak . Lalu siapakah yang bersalah atas kejadian yang tidak manusiawi ini ? Pemerintah ? Honorer? Pejabat yang Mengangkat? Jawabnya adalah ketiga-tiganya.  Karena hal ini tidak akan terjadi jika pemerintah tegas dari sejak ada perekrutan honorer yang semi ilegal tanpa aturan jelas cenderung dibiarkan. Pejabat mengangkat honorer untuk menutupi kebutuhan tenaga kerja, tetapi terkadang ada oknum pejabat mengangkat honorer karena anaknya, saudaranya atau karena kedekatan yang lainnya, bahkan ada oknum pejabat yang mengangkat honorer karena suap. Honorer sendiri juga dipersalahkan, karena ada oknum honorer yang menyuap atau memanfaatkan kedekatan untuk menjadi honorer. Lalu bagaimanakah solusinya? 1. Pemerintah harus membuat aturan yang jelas dan tegas tentang tenaga honorer, dari perekrutan, gaji dan lain-lain, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. 2. Pejabat yang mengangkat honorer tidak sesuai dengan aturan PP atau aturan lain yang berlaku harus diberi sangsi yang nyata. 3. Honorer yang telah ada diselesaikan secara manusia, dengan memberikan gaji mereka yang layak bukan hanya dipasrahkan kepada daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun