Dalam dunia pengembangan perangkat lunak, Software Configuration Management (SCM) bukanlah istilah asing. Ia menjadi fondasi bagi proses pengembangan modern yang menuntut kolaborasi, konsistensi, dan kontrol kualitas dalam setiap baris kode yang ditulis. SCM bukan sekadar tentang menyimpan kode, melainkan tentang mengelola evolusi perangkat lunak dengan terstruktur dan aman. Namun, meski penting, kenyataannya di lapangan --- terutama di lingkungan mahasiswa informatika --- implementasi SCM masih menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan.
Sebagai seorang yang menekuni Rekayasa Perangkat Lunak sekaligus mengamati dinamika dunia pendidikan TI, saya melihat bahwa tantangan implementasi SCM tidak melulu soal teknis, tetapi juga berkaitan dengan pola pikir, pendekatan pembelajaran, dan budaya kerja tim yang belum terbentuk secara ideal.
-
Kurangnya Pemahaman Konseptual Dasar. Banyak mahasiswa memandang SCM hanya sebatas "belajar Git", tanpa memahami konsep manajemen konfigurasi perangkat lunak secara utuh. Akibatnya, mereka hanya tahu perintah dasar seperti git add, commit, dan push, tanpa benar-benar paham kenapa mereka melakukannya. Padahal, inti dari SCM adalah mengelola perubahan secara terstruktur, bukan sekadar meng-upload file ke GitHub.
Ini mencerminkan kesenjangan antara teori dan praktik. Di satu sisi, materi SCM disampaikan dalam bentuk definisi dan komponen seperti configuration identification, version control, hingga change auditing. Di sisi lain, praktiknya tidak disertai konteks nyata, membuat mahasiswa kesulitan menghubungkan teori dengan pengalaman langsung.
Budaya Belajar yang Masih Individualistis. Dalam SCM, kolaborasi adalah kunci. Namun dalam banyak kasus, mahasiswa lebih terbiasa bekerja sendiri untuk menyelesaikan tugas. Kolaborasi baru dilakukan sekadar formalitas, misalnya dalam tugas kelompok, tetapi tanpa memanfaatkan SCM secara maksimal.
Tidak jarang ditemukan proyek kelompok yang hanya dikerjakan oleh satu orang, lalu dibagikan hasil akhirnya kepada anggota lainnya. Ini bertentangan dengan prinsip SCM yang justru mendorong transparansi kontribusi tiap anggota, keterbukaan revisi, dan integrasi bertahap yang terdokumentasi.
Minimnya Pengalaman dalam Proyek Nyata. SCM paling terasa manfaatnya saat proyek mulai kompleks dan melibatkan banyak orang. Namun di tingkat mahasiswa, proyek yang dikerjakan seringkali kecil, terbatas, dan tidak memerlukan manajemen perubahan yang serius. Akibatnya, banyak yang menganggap penggunaan SCM adalah beban tambahan yang tidak terlalu perlu.
Ironisnya, ketika mereka memasuki dunia kerja atau magang, justru kemampuan ini yang paling dituntut. Perusahaan-perusahaan TI saat ini menjadikan penguasaan Git, kolaborasi di GitHub, serta pemahaman CI/CD sebagai syarat dasar dalam proses rekrutmen.
Keterbatasan Akses dan Bimbingan Praktis. Tak bisa dipungkiri, tidak semua kampus memberikan pembelajaran SCM dengan metode yang aplikatif. Beberapa dosen mungkin hanya menyampaikan teori, tanpa memberikan proyek latihan yang relevan dengan skenario dunia nyata. Kalaupun ada praktikum, terkadang tidak dibimbing secara mendalam hingga mahasiswa benar-benar menguasainya.
Hal ini diperburuk oleh keterbatasan sumber daya seperti koneksi internet, laptop dengan spesifikasi memadai, serta materi pembelajaran interaktif yang mudah dipahami.