Aku terlahir dari seorang ibu yang sangat mencintaiku, Susiati nama yang diberikan kakekku untuknya. Sembari menulis ini kubayangkan wajahnya yang sudah mulai menua, terbayang jelas betapa besar pengorbanannya untukku dan ketiga saudaraku. Sekarang kami berempat anaknya sudah dewasa dan mempunyai keluarga di masing-masing kota yang berbeda. Hanya sesekali waktu di hari istimewa, utamanya hari raya kami semua dapat berkumpul bersama. Ibuku adalah ibu rumah tangga biasa layaknya ibu-ibu lainnya. Sehari - hari mengurus rumah dan merawat kami semua. Ibuku rela mengorbankan cita-cita dan keinginannya yang sedari kecil dengan susah payah dan sebenarnya sudah diraihnya yakni menjadi seorang guru CPNS waktu itu demi kami semua anaknya.
Enam puluh empat tahun kini usianya, tetapi masih sigap ke mana - mana. Terbayang lagi masa kecilku, ibu memiliki empat anak dengan selisih umur sekitar 2 atau 3 tahun, dapat dibayangkan betapa repotnya. Pekerjaan sebagai pendidik di luar rumah rela dia tinggalkan demi mendidik kami keempat anaknya. Ibu tak ingin mendidik orang lain sementara anaknya sendiri sebagai amanah dan investasi berharga yang dititipkan Allah serta harus dipertanggungjawabkannya kelak, harus terbengkalai di rumah. Itu alasannya ketika kutanya mengapa ibu melakukan itu, di samping memang keadaan yang memaksanya untuk berbuat itu. Saat itu tidak ada pilihan lain, begitu menikah dengan ayah yang juga seorang guru, mereka memang langsung hidup mandiri tanpa ada campur tangan dari nenek atau kakekku. Seperti kita tahu bagaimana kondisi kehidupan guru kala itu, mungkin gajinya hanya cukup untuk kehidupan kami sehari-hari sementara kedua orang tuaku terutama ibuku menginginkan yang lebih dari itu bagi kami anak-anaknya, terutama dalam hal pendidikan. Ibu ingin kami semua mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari apa yang pernah diperolehnya. Mungkin kala itu pendidikan yang diperoleh ibuku memang sudah di atas rata-rata yang dapat diperoeh wanita di sekitarnya. Seringkali ayah dan ibu berkata bahwa mereka hanya bisa memberikan kepada anak-anaknya yang terbaik melalui ilmu agama dan pendidikan. "Dengan ilmu kalian dapat memperoleh kehidupan dunia, tetapi jangan lupa akan kehidupan akhirat yang kita akan kekal di dalamnya, " itu kata-kata yang sering mereka ucapkan kepada kami semua.
Demi mewujudkan keinginan itu di samping menjadi guru, di rumah ayah memiliki usaha tambahan kecil-kecilan membuka usaha jahitan dengan dibantu tiga orang pegawainya kala itu. Ibuku tidak tinggal diam, di samping membantu ayah dia juga berusaha berdagang kecil-kecilan, juga beternak yang penting bisa dilakukan di rumah sambil menjaga kami semua. Alhamdulillah, kami berempat hampir tidak pernah memiliki kendala dalam pendidikan kami, meskipun harus kami jalani dengan kondisi seadanya bahkan harus prihatin dan bekerja keras berkenaan dengan biaya, kakak sulungku laki-laki memilih bidang teknik dan sekarang bekerja di pertambangan batubara Kalimantan Timur demikian juga adik bungsuku yang juga laki-laki. Kakak keduaku, perempuan memilih bidang administrasi dan kini bekerja sesuai pendidikannya di Surabaya.
Sementara aku, pembaca sudah pasti tahu kalau aku sekarang menggeluti profesi sebagai guru. Akan tetapi ada sedikit cerita yang ingin kutulis di sini, yang semoga bisa memberikan satu inspirasi bagi para pembaca. Menjadi guru bukanlah impian dan cita-cita masa kecilku. Kala itu yang ada dibenakku adalah menjadi seorang insinyur atau sarjana teknik lulusan Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya yang ternama itu. Sebenarnya tidak muluk-muluk juga cita-citaku itu jika menilik riwayat pendidikanku. Mulai SD hingga SMA prestasiku lumayan bisa diandalkan, di SMP selalu menempati peringkat terbaik di kelas juga satu sekolah, mungkin jika pembaca adalah teman sekolahku tidak akan meragukan itu. Dengan bekal itu aku berhasil masuk kelas unggulan di SMA tervaforit di kotaku, Jombang kota kecil yang menyimpan seribu kenangan. Saat SMA aku mengambil jurusan Fisika atau A1 namanya di era tahun 90-an dengan harapan dapat mempermudah tercapainya apa yang kuinginkan. Sebagian besar temanku laki-laki dan mempunyai cita-cita yang sama sepertiku. Sekarang pun rata- rata mereka punya profesi yang patut dibanggakan, ada yang menjadi dokter, dosen, arsitek, dan lain-lain, mungkin dalam satu kelas dulu 95% berhasil memperoleh pekerjaan yang layak dan sesuai yang mereka inginkan. Saat lulus SMA aku bersikukuh ingin masuk ITS untuk mewujudkan cita-citaku, seperti yang dilakukan teman-teman sekelasku dan aku yakin aku sebenarnya mampu untuk itu. Akan tetapi itu semua tidak pernah terjadi, saat aku mau mendaftar PTN, ayah dan ibuku memiliki permintaan yang sangat membuat pusing kepalaku waktu itu. Sebenarnya tidak ada paksaan dari mereka, tetapi aku tahu mereka sangat berharap bahwa di antara keempat anaknya ada yang mengikuti jejaknya menjadi guru, terutama sekali ibuku yang sempat kehilangan cita-citanya itu. Harapan itu sudah tidak bisa mereka peroleh dari kedua kakakku yang tidak mau memilih menjadi guru. Akhirnya dengan terpaksa kubuang jauh-jauh impian kecilku, kuturuti kehendak orang tuaku. Aku yakin, mungkin itu sudah digariskan Allah untukku. Walaupun pertama kali aku melangkah dengan setengah hati, tetapi aku yakin dengan doa dan restu orang tua terutama ibu, merupakan jalan terbaik bagi seorang anak.
Keputusan yang aku ambil menurutku sangat tepat, saat aku masuk kuliah kedua kakakku juga masih membutuhkan biaya, belum adikku yang juga masuk SMA. Sedikit banyak aku dapat membantu meringankan beban kedua orang tua. Akhirnya aku diterima di jurusan pendidikan Matematika IKIP Surabaya yang sesaat setelah aku lulus berganti nama menjadi Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Awalnya aku malu bila ketemu teman sekolahku dan ditanya kuliah di mana? Begitu mendengar jawabanku, sebagian besar mereka mengatakan lho kok tidak sesuai yang kamu inginkan. Bahkan tak jarang yang berkomentar menyayangkan mengapa kok mau menjadi guru. Dalam benakku bertanya, apa iya menjadi guru selalu dipandang sebelah mata ?. Mungkin itu terjadi karena kehidupan guru saat itu yang memang boleh dikata "kurang sejahtera". Pendidikan Matematika menjadi jurusan favorit juga di kampusku waktu itu, dari sekitar 2000 pendaftar hanya diterima satu kelas 50 0rang satu angkatan. Ternyata setelah aku cari tahu hampir 50 % teman sekelasku juga anak seorang guru serta ada juga yang terpaksa masuk di situ persis seperti aku. Aku bersyukur, target waktu kuliah 4 tahun dapat aku lalui tanpa halangan yang berarti. Selama itu pula aku belajar mandiri, bahkan mencari uang sendiri. Aku sering tersenyum saat kuingat sebutan untukku sebagai "pemburu dollar" dilontarkan teman-temanku. Ya, tidak salah aku mengambil jurusan Matematika, di samping sejak kecil aku sudah jatuh cinta padanya ternyata juga dapat menghasilkan uang yang sangat membantu aku dan keluarga. Aku ingat, sejak semester 2 aku mulai menjadi guru privat anak-anak orang kaya di Surabaya. Pulang kuliah, mulai Senin sampai Jumat aku menjadi guru privat datang ke rumah-rumah mereka, terkadang pulang sudah hampir jam sembilan malam. Tidak salah jika sebutan pemburu dollar itu diberikan untukku. Bahkan gaji pertamaku sebagi CPNS masih di bawah penghasilan bulananku saat masih kuliah. Meski menjadi guru privat menjadi rutinitasku hampir setiap hari, aku tetap menomorsatukan kuliah, ibuku selalu mengatakan boleh mencari uang sendiri tetapi aku harus berjanji terhadap diri sendiri menyelesaikan kuliah tepat waktu. Berkat doa ibu dan tentunya usahaku juga, aku berhasil lulus empat tahun , tidak banyak setiap tahunnya di jurusan Matematika yang bisa selesai S1 tepat waktu seperti itu. Sekali lagi itu anugerah dari Allah yang diberikan untukku. Selama kuliah aku mendapat beasiswa TID ( Tunjangan Ikatan Dinas ) yang saat itu aku peroleh atas dasar Indeks Prestasi ( IP ) saja, tak banyak mahasiswa yang bisa mendapatkan itu, maklum saat itu mencari IP 2,5 untuk MIPA dan 3,00 untuk jurusan yang lain sebagai syaratnya memang tidak mudah seperti kuliah jaman sekarang. Bahkan saat aku mendapat beasiswa ini, aku ingat pasti ditawarkan sebanyak 18 orang untuk dua angkatan ternyata hanya separuh yang dapat diambil karena tidak ada lagi yang memenuhi syarat. Dengan berbekal TID itu akhirnya tanpa harus bersusah payah mengikuti seleksi tes, kuperoleh SK CPNS ku, jadilah aku guru yang sesungguhnya. Sekali lagi aku bersyukur di tempatkan di SMP Negeri 1 Ampelgading, kabupaten Malang, tempat hingga sekarang aku mengajar. Letak sekolah lumayan jauh dari tempat tinggalku sekarang, sekitar 30 km harus aku tempuh setiap hari. Aku sangat menikmati pekerjaanku menjadi guru, meski sekolahku termasuk sekolah pinggiran, aku tak mau ketinggalan informasi. Berbagai kegiatan pengembangan diri aku ikuti, itu tidak hanya aku lakukan sekarang ini tetapi sudah jauh hari sejak aku resmi menjadi guru, begitu aku tahu ada MGMP aku selalu aktif di dalamnya, semula menjadi peserta biasa yang akhirnya aku dipercaya menjadi pengurusnya. MGMP yang kami kelola ada 5 wilayah, mungkin Kabupaten Malang adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Berbagai kegiatan lomba aku ikuti dan sempat meraih juara, di antaranya guru berprestasi dan OSN guru Matematika. Mungkin berkat itu pula di tahun 2014 kemarin aku dipercaya menjadi Instruktur Nasional ( IN) untuk Implementasi K13 di kabupaten Malang. Sepengetahuanku juga guru Matematika SMP di Kabupaten Malang yang paling sering mengikuti kegiatan p4tk matematika dalam 5 tahun terakhir ini adalah saya, hampir setiap ada diklat online untu guru SMP aku mengikutinya, juga Sendimat I dan II. Banyak pengalaman dan ilmu berharga kuperoleh di sana. Tetapi aku selalu mengajak teman-teman dan alhamdulillah di ETT 2015 ini sudah bertambah yang tergerak hati untuk mengikutinya.
Seringkali aku berpikir, mungkinkah aku mendapatkan seperti yang aku dapatkan sekarang andai aku tidak menjadi guru ? Dapat menjalankan tugas sebagai guru sekaligus mendidik anak-anakku, sempat pula mengunjungi beberapa negeri tetangga juga karena menjadi guru. Bahkan sering menjadikan iri kakak perempuanku yang sebagian waktunya habis di luar rumah untuk bekerja dan tersisa sedikit untuk anak-anaknya. Sekali lagi terbayang wajah ayah ibuku, kalau tidak karena mereka mungkin takkan kudapatkan ini semua. Juga saat aku mempunyai keinginan untuk masuk Pascasarjana, ibulah orang yang pertama mendukungku. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan untuk apa? Kok cari susah, wong banyak gelar S2 yang diperoleh dengan mudah. Tapi itulah aku, aku tidak mau seperti mereka yang tiba-tiba meraih gelar tanpa banyak menguras tenaga. Aku mau S2 Pendidikan Matematika bukan yang lain, dan di kota Malang hanya ada di Universitas Negeri Malang.
Aku jalani ijin belajar selama dua tahun dengan tanpa meninggalkan tugasku sebagai guru. Berat memang karena lokasi kampus dan sekolah yang lumayan jauh dari rumah dengan arah yang berlawanan. Praktis hampir 3 semester seperti tidak ada waktu libur walaupun hari minggu. Perlu pembaca ketahui saat aku ambil S2 belum ada tawaran beasiswa seperti akhir-akhir ini seperti dari P2TK atau dari Pemprov. Yang ada hanya tawaran beasiswa bagi guru-guru sekolah RSBI dan tak mungkin aku mendapatkan itu dengan stutus sekolahku yang hanya SSN. Aku bersyukur bisa menyelesaikan studiku, bahkan sampai sekarang ada teman-teman seperjuanganku yang belum bisa menyelesaikan itu. Berkat status ijin belajar yang bukan tugas belajar pula, masa kerjaku sebagai guru tetap aku peroleh, sehingga di usia genap 40 tahun aku sudah memasuki golongan IV/b juga dengan segala kemudahan yang diberikan Allah, sekali lagi aku bersyukur karena tidak banyak pula guru yang mengalami seperti aku. Bahkan banyak teman di sekolah yang sampai dua atau tiga kali pengajuan belum berhasil juga padahal sudah habis banyak biaya. Sekarang masih 19 tahun lagi perjuanganku menjadi guru, masih banyak mimpi yang ingin kuraih.
Hanya satu hal yang selalu mengganjal pikiranku, yaitu ibu. Sudah 11 tahun, sepeninggal ayahku ibu tinggal sendiri di rumahnya, bukan kami tidak mau merawatnya. Tapi ibu yang memang menolaknya, dengan alasan tidak mau merepotkan kami anak-anaknya. Kami tahu, merawat orang tua merupakan ladang amal bagi kami anaknya untuk dapat berbakti. "Aku lebih senang jika dapat mengunjungi kalian bergantian satu per satu, aku masih kuat biar aku yang datang karena kalian semua bekerja, " itu yang selalu dia katakan setiap tinggal bersama, kami tawarkan. Memang ibu selalu menepati janjinya untuk mengunjungi kami bergantian, sekarang pun aku tengah mendapat giliran kunjungannya. Dalam hatiku bertanya, sampai kapankah ibuku bertahan seperti ini? Aku selalu berdoa semoga diberi kesempatan oleh Allah untuk merawat ibu, semoga suatu saat ibu memilih tinggal bersamaku. Mungkin hanya itu yang sekarang menjadi mimpi terbesarku. Semoga Allah memberikan anugerah terindahnya sekali lagi untukku. Ini hanya sedikit pengalaman hidupku, masih banyak guru-guru di luar sana yang lebih hebat dari aku yang aku yakin itu semua tak lepas dari peran seorang ibu. Berbanggalah para ibu, kamulah pelita, guru dan madrasah pertama bagi anak-anakmu.
"Tulisan ini merupakan tugas Diklat Online P4TK Matematika 2015"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H