KESUCIAN CINTA
Keheningan malam telah membuat aku terpaku dengan fikiran yang penuh dengan imajinasi dan khayalan belaka. Aku termenung memandang langit yang mendung sehingga bintang gejora dan bulan sabit tidak menampakkan dirinya. Ditemani dengan laptop, hp dan bonekaku yang cantik, terlintas di fikiranku sebuah imajinasi yang menghasilkan sebuah cerita pendek. Imajinasi ini tiba-tiba saja muncul seakan angin yang sedang menyambar dedaunan di pinggir jalan sehingga rontok seketika, begitu pula imajinasiku ini yang rontok sehingga terbentuk sebuah cerita pendek tentang kesucian cinta.
Di sebuah desa tepatnya di desa Mawar kabupaten Ciamis hiduplah seorang gadis cantik bernama Aisyah dari keluarga yang sederhana. Pekerjaan orang tuanya sehari-hari dengan menjual kayu bakar yang untungnya tidak seberapa. Namun anak semata wayangnya mempunyai cita-cita ingin berpendidikan tinggi dan ingin mengangkat derajat orang tuanya. Walaupun dia adalah anak yang genius tetapi selalu mendapat cacian dari teman-temannya karena kemiskinannya itu. Teman-temannya juga iri karena Aisyah selalu diperhatikan oleh banyak lelaki karena akhlaknya yang baik dan ramah kepada orang lain.
Banyak lelaki yang ingin meminangnya dan menjadi pendamping hidupnya, namun Aisyah adalah gadis yang mempunyai pendirian dan prinsip hidup yang kuat. Dia tidak ingin membuka hatinya sebelum pada waktunya, yaitu disaat dia sudah sukses dan ada lelaki yang datang ke rumahnya dengan berbicara langsung dengan orang tuanya, lalu mereka menyetujui jika lelaki itu bersama Aisyah, maka pada saat itulah hati dan perasaannya akan dibuka lebar-lebar untuk calon pendamping hidupnya yang sudah direstui oleh orang tuanya.
Aisyah selalu mengumpamakan prinsip hidupnya sebagai tanaman yang ditanam dan dirawat dengan susah payah oleh pemiliknya sehingga akan menghasilkan panen yang memuaskan. Jika tanaman itu belum waktunya dipanen tentu tidak akan laku dijual, kalaupun laku paling tidak seberapa. Jika Aisyah iri dengan orang lain yang sudah memanen lebih dulu, pasti dia sudah memanennya. Tapi dia selalu yakin akan menghasilkan panen yang memuaskan karena tanamannya dijaga dan dirawat dengan semaksimal mungkin.
Pada suatu hari ada seorang lelaki yang bernama Ihsan datang ke rumah Aisyah, dia adalah anak dari tokoh masyarakat yang sangat dihormati oleh masyarakat desanya.
“Assalamu’alaikum” ucap Ihsan
“ Wa’alaikumussalam, silakan duduk mas” jawab Aisyah
“ terima kasih Aisyah”
(dengan penuh kesopanan Aisyah memberanikan diri untuk bertanya kepada Ihsan)
“ ada keperluan apa mas Ihsan datang ke rumah saya pagi-pagi?”
“sebelumnya saya minta maaf Aisyah, karena saya telah lancang datang ke rumahmu tanpa seizinmu”
“tidak apa-apa mas, siapapun boleh datang ke rumah ini dan akan kami terima dengan lapang dada”
“ terima kasih kalau seperti itu Aisyah, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu”
“ silakan mas”
“ apakah kamu sudah mempunyai calon pendamping hidup? maaf jika aku lancang”
“ belum mas, memangnya kenapa?”
“ bolehkah jika aku menjadi teman sejatimu yang akan mendampingi hidupmu?”
“ maaf sebelumnya mas, untuk saat ini aku belum membuka hati dan perasaanku untuk siapapun, karena impianku masih belum tercapai. Dan tidak seharusnya aku membuka hatiku sebelum orang tuaku mengizinkanku untuk membukanya. Kalau kita memang jodoh, pasti akan dipertemukan kembali di waktu yang telah ditentukan oleh Allah. Dan sesungguhnya hati dan perasaanku telah aku jaga untuk calon pendamping hidupku yang memang sudah ditakdirkan oleh Allah. Jika memang mas sudah ditakdirkan berjodoh denganku, tentu akan dipermudahkan oleh Allah dan pada saatnya nanti akan dipertemukan kembali oleh Allah. Tapi jika mas bukan jodohku, pasti Allah akan mempertemukanmu dengan jodohmu yang lebih baik dari pada aku.”
Marah, kecewa, gelisah, sedih, sakit bercampur menjadi satu dalam jiwa Ihsan yang sudah ditolak oleh Aisyah secara halus. Dia tak bisa berkata apapun karena sakit yang begitu mendalam telah dirasakan dalam hidupnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Ihsan pun pergi dari hadapan Aisyah dengan mengucapkan salam yang diiringi dengan mata yang berkaca-kaca.
Hampir setiap hari Aisyah selalu kedatangan tamu yang ingin menjadi pendamping hidupnya. Tetapi jawaban Aisyah tetap sama, karena Aisyah juga baru berumur 18 tahun dan baru akan melanjutkan di perguruan tinggi, perjalanannya untuk meraih cita-cita dan untuk menjaga prinsipnya masih panjang, tanaman Aisyah belum siap dipanen kecuali sudah berumur 23 tahun.
Sebenarnya Aisyah tidak ingin menyakiti hati orang lain, tapi dari pada dia memberi harapan yang tak pasti, lebih baik jujur apa adanya walaupun itu menyakitkan.
Aisyah melanjutkan studinya di Jawa Timur tepatnya di UIN Malang dan bertempat tinggal di pondok pesantren Tahfidzul Qur’an yang ada di sekitar kampus. Dia menjalani kehidupannya di bangku perkuliahan dengan penuh keseriusan dalam menimba ilmu yang diharapkan bisa bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dosen, teman, sahabat, bahkan karyawan yang ada di kampusnya mengagumi dan benar-benar menghormati Aisyah karena akhlaknya yang baik dan berbeda dengan mehasiswa yang lain. Selain keaktifannya di kampus, dia juga bisa membagi waktunya untuk mengaji di pondok dan menjaga hafalan Al-Qur’annya dengan baik.
Prestasi demi prestasi selalu diraihnya baik di pondok maupun di kampusnya, dia menjadi anak kesayangan pengasuh pondoknya. Hafalan Al-Qur’annya sudah lancar, mungkin karena pengaruh hati dan fikirannya yang selalu dijaga dari segala bentuk kemaksiatan.
Banyak teman laki-laki Aisyah di pondok maupun di kampus yang mendekatinya, tapi sayangnya Aisyah adalah gadis yang benar-benar menjaga kemuslimahannya. Dia ingin memiliki predikat wanita sholihah yang hanya akan dimiliki oleh orang yang sudah menjadi pilihan Allah. Sehingga teman-temannya selalu mendo’akan Aisyah supaya Allah memberikan pendamping hidup yang benar-benar sholih, karena Aisyah adalah sesosok gadis yang sederhana tapi hatinya benar-benar istimewa dan berbeda dengan gadis pada umumnya.
Empat tahun Aisyah telah menyelesaikan studinya di UIN Malang, tapi dia masih tetap di pondok untuk melancarkan hafalan Al-Qur’annya selama 1 tahun. Sehingga genap 5 tahun Aisyah menjalani kehidupan dan mencari jati dirinya di Malang Jawa Timur. Dengan berat hati Aisyah meninggalkan pondok dan kampusnya yang telah membimbingnya dalam memaknai kehidupan. Teman-temannya pun sedih karena akan ditinggalkan sesosok gadis sholihah yang selalu dicontoh mereka dalam perilakunya.
Masyarakat di desanya menyambut dengan gembira atas kepulangan Aisyah seorang hafidzoh dan sarjana yang akan mengamalkan ilmunya di kota kelahirannya. Begitu pula Ihsan yang telah sabar menunggu Aisyah selama 5 tahun untuk dijadikan pendamping hidupnya. Tentu penantiannya tidak sekedar berdiam diri di rumah, tetapi dia juga menimba ilmu di pondok pesantren yang tidak jauh dari pondoknya Aisyah yaitu di Lirboyo. Ihsan memperdalam ilmunya di pondok pesantren dan selalu berdo’a supaya ilmunya dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang di sekelilingnya.
Ihsan sudah benar-benar menemukan jati dirinya selama hidup di Jawa Timur, dia menemukan arti hidup yang penuh dengan liku-liku di setiap harinya, tetapi dia telah memperoleh manfaatnya sekarang. 3 bulan sudah Ihsan berada di kota kelahirannya dan mengamalkan ilmunya di pondok pesantren yang ada di desanya. Dia memberanikan diri datang ke rumah Aisyah untuk kembali menanyakan tentang dirinya. Tetapi dia tidak ingin bertemu Aisyah melainkan bertemu dengan orang tuanya.
“Assalamu’alaikum..”
Wa’alaikumussalam,, mau bertemu siapa? Tanya orang tua Aisyah
“saya ingin bertemu dengan bapak..”
“silahkan masuk nak”
“nggeh pak matur suwun, kedatangan saya kesini ingin silaturrohmi dan saya minta maaf karena telah lancang datang ke rumah bapak”
“Ya tidak apa-apa nak, rumah ini terbuka lebar untuk siapapun.. tapi ngomong-ngomong ada keperluan apa kamu kesini nak?
“sebelumnya saya minta maaf pak, saya bermaksud ingin meminang putri Bapak dan ingin menjadikannya pendamping hidup saya, apakah Bapak mengizinkannya?”
“maaf nak, untuk masalah itu hanya Aisyah yang dapat menjawabnya, kalau dia mau Insya Allah Bapak mengizinkannya.”
“ Tapi 5 tahun yang lalu dia bilang sama saya kalau akan menerima seorang laki-laki untuk dijadikan pendamping hidupnya setelah orang tuanya merestuinya.”
“oh begitu nak, Bapak memang sudah merestuimu untuk menjadi pendamping hidupnya nak, karena Aisyah juga sudah pernah cerita perihal dirimu kepada Bapak. Tetapi akan lebih baiknya jika kita tanyakan masalah ini kepada Aisyah langsung, Bapak panggilkan Aisyah dulu yah.. Aisyah.. Aisyah.. sini nduk..”
“nggeh Pak, ada apa?”
“duduk sini nduk, ini ada Ihsan dan keluarganya ingin bertemu kamu dan ingin berbicara padamu.”
“nggeh Pak monggo”
“ sebelumnya kami sekeluarga meminta maaf kepada Aisyah jika yang kami utarakan tidak berkenan di hati.” Ucap Bapaknya Ihsan
“ iya Pak Kyai tidak apa-apa, silahkan”
“kami kesini bermaksud untuk menamyakan kepada Aisyah, apakan Aisyah bersedia jika anak saya Ihsan menjadi pendamping hidup Aisyah? Sudah 5 tahun lamanya Ihsan menunggu jawaban Aisyah, dan akan kami terima jawaban Aisyah dengan lapang dada”
“ sebelumnya minta maaf pak..”
“ minta maaf kenapa? Tidak bersedia?”
“ saya minta maaf karena saya tidak bisa... saya tidak bisa..”
“tidak bisa apa?”
“ tidak bisa menolak mas Ihsan untuk menjadi pendamping hidupku.”
“berarti Aisyah bersedia?
“Insya Allah Pak, mungkin ini memang sudah takdir dari Allah yang harus saya terima dengan penuh syukur”
Gembira, terharu, tangis kegembiraan bercampur menjadi satu pada diri Ihsan yang telah menunggu jawaban Aisyah selama 5 tahun. Menunggu dengan penuh kelapangan dada, hanya do’a dan kesabaran yang selalu dia perbuat untuk seorang gadis yang terjaga kesucian hati dan perasaannya untuk sebuah cinta yang memang direstui oleh Allah untuk bersatu dalam menjalani kehidupan yang disertai ibadah kepada Allah.
Aisyah benar-benar telah memanen tanamannya yang telah lama dijaga dan dirawat dengan baik dan berhasil menjalani prinsip kehidupannya yang benar-benar menjaga kesucian jiwa, raga, hati dan perasaannya dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan rintangan dunia. Aisyah dan Ihsan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah berkat ketekunannya dan kesabarannya dalam menjaga prinsip hidupnya yang mulia.
“Sekian”
NB: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat maupun ceritanya, itu hanya sebuah unsur ketidaksengajaan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H