Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehidupan Setelah Pukul Lima Sore

16 Maret 2024   19:57 Diperbarui: 16 Maret 2024   20:02 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Hari itu ibu mengusap-usap kepalanya yang ditumbuhi rambut sebahu. "Ibu nggak pernah loh, mengajari kamu jadi pembohong."

 "Pembohong apanya? Ibu nggak percaya aku sesayang itu sama Ibu? Walau kadang nggak nurut omongan Ibu, aku lebih sayang Ibu daripada diriku sendiri, tau!"

 "Kamu menjadikan Ibu sebagai alasan, padahal kamu hanya takut melihat kehidupan lain di luar kehidupan yang kamu tahu."

 Kalau sudah begitu, Sora hanya akan menjatuhkan kepalanya ke tempat tidur ibu yang tidak lebih empuk dari tempat tidur ibu di rumah. Matanya memerah, tetapi Sora tidak akan menangis. Katanya, "air mata tidak cocok untuk rasa kesal." 

 Sepanjang ingatannya, Sora hanya punya ibu. Sora tidak ingat rupa ayah. Menyebalkan jika ibu mengatakan kalau Sora hanya berkilah. Padahal meski bukan anak baik dan penurut, Sora sungguh-sungguh saat mengatakan kehidupan yang dia tahu hanya kehidupan tentang ibu. Toh, buat apa juga Sora melihat kehidupan lain saat dunia seperti layar lebar yang saban hari menunjukkan realitanya?

 Sora tentu pernah jatuh cinta. Sora tentu pernah disuguhi kehidupan lain di luar kehidupan tentang ibu. Sora pernah merasakan manisnya melihat pria yang dia cintai berjalan di kejauhan. Sora juga pernah merasa jantungnya berdebar-debar hebat tiap kali pria yang dia cintai mengajaknya bicara. Hanya saja, memori rasa yang menyenangkan itu mati terbunuh beragam kenyataan bahwa Sora tidak dicintai. Sora yang malang, yang tidak pernah mengingat rupa ayah, tidak layak mendapatkan cinta lain.

 Barangkali itu kali terakhir Sora jatuh cinta. Juga menjadi kemarahan terakhirnya, sebab setelah itu Sora bersumpah untuk tidak menyambut kedatangan cinta siapapun dan merelakan hatinya jatuh kepada siapapun---Sora tidak berencana berhenti.

 Ibu sungguh salah kalau mengira Sora takut. Sora tidak takut. Sora hanya tidak ingin menjadi gadis naif yang mau-mau saja dibutakan perasaan lalu berakhir menangisi nasib. 

 Meski kesal tiap kali ibu mengingatkannya bahwa ibu tidak sanggup untuk menjadi kehidupannya terus-menerus, Sora tidak berhenti mendatangi ibu ke rumah sakit. Dengan telaten---dengan badan bau keringat sehabis berdesak-desakan di bus pukul lima---Sora akan menyuapi ibu dengan semangkok bubur, mengelap tubuh tuanya dengan kain basah, lalu membaringkan kepala di sebelahnya. 

 Pernah suatu sore, Sora berkata, "lihat! Ibu masih jadi kehidupan setelah pukul lima sore aku."

 Namun, ibu tidak menggubris perkataannya. Ibu malah bertanya hal menyebalkan apa lagi yang diminta atasannya hari itu, seberapa parah lecet di kakinya akibat sepatu berhak tinggi yang dia kenakan, dan mengapa Sora tidak pernah terlihat pergi bersama teman kerjanya akhir-akhir itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun